Berhenti berarti kalah!
Friday, November 19, 2010
Tambahkan komentar
Pepatah Arab yang artinya, “Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu” memang betul adanya. Namun, lantas bagaimana dengan kita yang telah cukup umur? Adakah kata terlambat dalam mengumandangkan sebuah perjuangan?
Al-Khawarizmi, seorang ahli matematika tersohor dan penemu ilmu aljabar, ternyata baru belajar matematika ketika berusia 24 tahun. Sebelumnya dia adalah pemuda pengangguran yang senang bermain musik. Tapi dia sadar, bahwa apa yang dilakukannya itu adalah kesia-siaan dan kelalaian. Kemudian dia beralih dan mengerjakan pekerjaan yang jauh lebih bermanfaat. Usia bukanlah penghalang untuk meraih apa yang dicita-citakannya. Kelak beliau dikenal sebagai sosok yang menguasai banyak ilmu pengetahuan mulai dari fisika, kimia, astronomi, filsafat, matematika, dan tentu saja pandai memainkan alat musik.
Sebagaimana Al-Khawarizmi, dengan semangat yang kita kobarkan dan usaha yang kita kerjakan dengan sungguh-sungguh, insyaallah, semua tidaklah sia-sia. Kita harus bangkit dari keterpurukan dan kemalasan ini. Kita harus raih kemuliaan sebelum ajal datang menjemput.
Mungkin kita bisa mencontoh Imam Bukhari yang biasa bangun dari tidur, lalu menyalahkan lampu dan menuliskan faedah suatu hadits yang terlintas dalam pikirannya, kemudian tidur lagi dan kembali bangun hingga beliau dalam sebagian malam melakukan perbuatan ini sampai 20 kali.
Atau meneladani Imam Abul Wafa bin Aqil al-Hanbali yang berkata, “Tak halal bagiku menyia-nyiakan sejam pun dari umurku. Sampai-sampai bila lidahku sudah tak mampu untuk bertutur kata, dan penglihatanku tak bisa membaca, aku tetap menjalankan daya pikirku meskipun aku berbaring istirahat. Sehingga aku tak akan bangkit kecuali telah terlintas dalam pikiranku apa yang akan kutulis. Pada umur 80 tahun aku amat gemar kepada ilmu, yang tak kualami ketika aku masih berumur 20 tahunan.”
Ataupun mendengarkan cerita dari Syaikh Abdul Adzim tentang Ishak bin Ibrahim al-Muradi, sebagaimana penuturannya, “Aku belum pernah melihat dan mendengar orang yang lebih banyak kesibukannya sepanjang siang hingga larut malam. Aku bertetangga dengan beliau, rumah beliau dibangun setelah 12 tahun rumahku berdiri. Setiap kali aku terjaga di keheningan malam, selalu terbias sinar lentera dari dalam rumahnya, dan beliau sedang sibuk dengan pencarian ilmu; bahkan sewaktu makan beliau selingi pula dengan membaca kitab-kitab.”
So, sebagaimana mereka, jika kita ingin menjadi “orang besar”, maka mau tidak mau kita harus menjadi orang yang tidak terhalang oleh waktu dan peristiwa. Alkisah, menjelang wafat Imam ath-Thabari, Ja’far bin Muhammad memanjatkan doa untuknya. Ath-Thabari kemudian meminta tempat tinta dan selembar kertas dan menulis doa itu. Dia ditanya, “Apa arti semua ini?” Maka dia menjawab, “Sepantasnyalah bagi seorang untuk memungut ilmu hingga menjelang kematiannya.” Beberapa saat kemudian beliau wafat.
Perlu diketahui, bahwa Imam al-Izz Izzuddin Abdussalam meninggal dunia pada usia 83 tahun pada saat beliau sedang berusaha menafsirkan ayat al-Quran, “Allahu nuurus samawati wal ardh” di hadapan murid-muridnya. Achdiat K. Miharja penulis novel Atheis, mampu menulis novel setebal 219 berjudul Manifesto Khalifatullah pada saat berusia 94 tahun!!
Bagi mereka, menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada orang banyak adalah keutamaan yang besar dan harus mereka jalani hingga maut datang menjemput. Tidak ada kata terlambat untuk menuntut ilmu, berkarya dan meraih prestasi. Berhenti berarti kalah! Karena orang yang berhenti sama saja dengan orang yang mati. Wallahu a’lam.
Al-Khawarizmi, seorang ahli matematika tersohor dan penemu ilmu aljabar, ternyata baru belajar matematika ketika berusia 24 tahun. Sebelumnya dia adalah pemuda pengangguran yang senang bermain musik. Tapi dia sadar, bahwa apa yang dilakukannya itu adalah kesia-siaan dan kelalaian. Kemudian dia beralih dan mengerjakan pekerjaan yang jauh lebih bermanfaat. Usia bukanlah penghalang untuk meraih apa yang dicita-citakannya. Kelak beliau dikenal sebagai sosok yang menguasai banyak ilmu pengetahuan mulai dari fisika, kimia, astronomi, filsafat, matematika, dan tentu saja pandai memainkan alat musik.
Sebagaimana Al-Khawarizmi, dengan semangat yang kita kobarkan dan usaha yang kita kerjakan dengan sungguh-sungguh, insyaallah, semua tidaklah sia-sia. Kita harus bangkit dari keterpurukan dan kemalasan ini. Kita harus raih kemuliaan sebelum ajal datang menjemput.
Mungkin kita bisa mencontoh Imam Bukhari yang biasa bangun dari tidur, lalu menyalahkan lampu dan menuliskan faedah suatu hadits yang terlintas dalam pikirannya, kemudian tidur lagi dan kembali bangun hingga beliau dalam sebagian malam melakukan perbuatan ini sampai 20 kali.
Atau meneladani Imam Abul Wafa bin Aqil al-Hanbali yang berkata, “Tak halal bagiku menyia-nyiakan sejam pun dari umurku. Sampai-sampai bila lidahku sudah tak mampu untuk bertutur kata, dan penglihatanku tak bisa membaca, aku tetap menjalankan daya pikirku meskipun aku berbaring istirahat. Sehingga aku tak akan bangkit kecuali telah terlintas dalam pikiranku apa yang akan kutulis. Pada umur 80 tahun aku amat gemar kepada ilmu, yang tak kualami ketika aku masih berumur 20 tahunan.”
Ataupun mendengarkan cerita dari Syaikh Abdul Adzim tentang Ishak bin Ibrahim al-Muradi, sebagaimana penuturannya, “Aku belum pernah melihat dan mendengar orang yang lebih banyak kesibukannya sepanjang siang hingga larut malam. Aku bertetangga dengan beliau, rumah beliau dibangun setelah 12 tahun rumahku berdiri. Setiap kali aku terjaga di keheningan malam, selalu terbias sinar lentera dari dalam rumahnya, dan beliau sedang sibuk dengan pencarian ilmu; bahkan sewaktu makan beliau selingi pula dengan membaca kitab-kitab.”
So, sebagaimana mereka, jika kita ingin menjadi “orang besar”, maka mau tidak mau kita harus menjadi orang yang tidak terhalang oleh waktu dan peristiwa. Alkisah, menjelang wafat Imam ath-Thabari, Ja’far bin Muhammad memanjatkan doa untuknya. Ath-Thabari kemudian meminta tempat tinta dan selembar kertas dan menulis doa itu. Dia ditanya, “Apa arti semua ini?” Maka dia menjawab, “Sepantasnyalah bagi seorang untuk memungut ilmu hingga menjelang kematiannya.” Beberapa saat kemudian beliau wafat.
Perlu diketahui, bahwa Imam al-Izz Izzuddin Abdussalam meninggal dunia pada usia 83 tahun pada saat beliau sedang berusaha menafsirkan ayat al-Quran, “Allahu nuurus samawati wal ardh” di hadapan murid-muridnya. Achdiat K. Miharja penulis novel Atheis, mampu menulis novel setebal 219 berjudul Manifesto Khalifatullah pada saat berusia 94 tahun!!
Bagi mereka, menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada orang banyak adalah keutamaan yang besar dan harus mereka jalani hingga maut datang menjemput. Tidak ada kata terlambat untuk menuntut ilmu, berkarya dan meraih prestasi. Berhenti berarti kalah! Karena orang yang berhenti sama saja dengan orang yang mati. Wallahu a’lam.
0 Tanggapan untuk "Berhenti berarti kalah!"
Post a Comment