Menikah : Bukan Sebatas Keinginan Belaka
Friday, November 26, 2010
Tambahkan komentar
Mentang-mentang bulan Haji, akhir-akhir ini banyak sahabat yang bertanya tentang rencana pernikahan. Pertanyaan seperti "Kapan nih, mau nyebar undangan?" dan sejenisnya, terus melanda melalui telepon, SMS, chat, pesan dinding dan inbox facebook. Bahkan dalam pertemuan-pertemuan rasanya tidak lengkap tanpa mereka menanyakan hal itu. Tadinya saya hanya diam dan tersenyum menjawabnya. Saya berpikir, "Sudahlah, nanti juga mereka bosan sendiri." Toh, kalau memang waktunya sudah sampai, kabar bahagia itu pasti tidak akan saya simpan. Bosan juga sebenarnya untuk membahas masalah ini. Kata seorang sahabat, pernikahan itu bukan untuk didiskusikan, tapi untuk diamalkan. Tapi, jika diskusi itu dalam rangka mempersiapkan diri, mungkin tidak ada salahnya ya?
***
Menikah, siapa sih yang tidak ingin? Sebagai seorang manusia yang mempunyai kebutuhan psikologis dan biologis, wajar rasanya jika kita menginginkannya. Mereka bilang, menikah itu membuat jiwa menjadi tenang, dan pikiran lebih terarah. Apalagi Baginda Rasulullah SAW mengatakan bahwa menikah merupakan sunnah beliau, yang akan menggenapkan separuh dari agama kita. Bahkan Rasulullah SAW menjamin bahwa seseorang yang ingin menikah untuk menjaga kehormatannya, termasuk dalam tiga golongan yang wajib mendapat pertolongan Allah. Tidakkah sebagai seorang muslim yang baik, janji Rasulullah ini sangat menggiurkan?
Hmm.. cinta, tema yang sangat mendunia. Setiap orang pasti pernah mencintai dan dicintai. Cinta kepada orang tua, suami, istri, saudara, anak-anak, sahabat, guru, dan masih panjang lagi daftar nama orang-orang tercinta kita. Ya, cinta itu memang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. Sabda Rasulullah SAW: "Allah memiliki seratus bagian Rahman (kasih), yang satu bagian disebarkannya ke seluruh dunia sehingga seekor kuda mengangkat kakinya karena takut menginjak anaknya yang baru lahir ..."
Pernikahan adalah satu-satunya cara yang dihalalkan dalam Islam bagi seorang perempuan dan laki-laki non muhrim untuk menjalin cinta dan kasih. Tapi menikah itu tidak semudah membalik telapak tangan. Ia adalah proses yang mudah tanpa harus dimudah-mudahkan, proses yang sulit tanpa harus dibuat rumit. Saat seorang laki-laki menjawab “qabiltu nikaakhahaa...” dalam ijab qabul, saat itulah dimensi baru bagi keduanya dimulai. Seorang perempuan dalam sekejap mempunyai predikat baru sebagai seorang istri, dan seorang laki-laki akan berubah status menjadi seorang suami. Status baru yang dibelakangnya mengekor beribu-ribu konsekuensi yang baru juga.
Ketika kita memutuskan untuk menikah, seharusnya kita telah bersepakat untuk mempertemukan tidak hanya seorang laki-laki dan perempuan, tapi juga dua pemikiran, dua sudut pandang, dua karakteristik, dua kebiasaan, bahkan dua keluarga besar dan dua kebudayaan. Ibarat sebuah pepatah, “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, perbedaan itu pasti akan ada. Kesiapan menikah adalah kesiapan untuk menerima perbedaan, kemauan untuk berubah, keinginan untuk mengenal lebih jauh, kesiapan untuk menerima pasangan kita apa adanya dan kesediaan untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi mengedepankan kepentingan dan kebutuhan bersama.
Bukan sekedar keinginan, menikah membutuhkan persiapan yang tidak mudah. Bahkan, ketika pernikahan itu sudah terlaksana pun, proses pembelajaran itu harus tetap kita lakukan. Ada suatu perbedaan besar yang harus kita sadari antara penggunaan kata 'ingin' dan 'siap'. Suatu keinginan yang tidak diikuti oleh proses mempersiapkan diri, ia hanya akan berakhir sebagai suatu mimpi kosong di siang bolong. Sementara, parameter kesiapan setiap orang hanya dirinya dan Allah saja yang tahu. Pun ketika kita melihat seorang laki-laki atau perempuan yang kita anggap cukup siap untuk menikah, ketika keinginan itu tidak tumbuh dalam diri mereka, maka pernikahan itu akan sulit untuk terealisasi. Tentunya, tanpa menafikan bahwa semua itu berada dalam wilayah kekuasaan Allah. Yaitu untuk menentukan kapan kita akan menikah, di mana, dengan siapa, dan dalam kondisi seperti apa, hanya Allah yang mampu menjawab itu semua...
Ya, semoga pernikahan bukan hanya menjadi keinginan kita belaka, tapi merupakan sesuatu yang kita upayakan dapat terlaksana dalam koridor syari'at-Nya, tentunya juga sebagai salah satu upaya untuk menggapai ridho-Nya. Wallahu a’lam.
***
Menikah, siapa sih yang tidak ingin? Sebagai seorang manusia yang mempunyai kebutuhan psikologis dan biologis, wajar rasanya jika kita menginginkannya. Mereka bilang, menikah itu membuat jiwa menjadi tenang, dan pikiran lebih terarah. Apalagi Baginda Rasulullah SAW mengatakan bahwa menikah merupakan sunnah beliau, yang akan menggenapkan separuh dari agama kita. Bahkan Rasulullah SAW menjamin bahwa seseorang yang ingin menikah untuk menjaga kehormatannya, termasuk dalam tiga golongan yang wajib mendapat pertolongan Allah. Tidakkah sebagai seorang muslim yang baik, janji Rasulullah ini sangat menggiurkan?
Hmm.. cinta, tema yang sangat mendunia. Setiap orang pasti pernah mencintai dan dicintai. Cinta kepada orang tua, suami, istri, saudara, anak-anak, sahabat, guru, dan masih panjang lagi daftar nama orang-orang tercinta kita. Ya, cinta itu memang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. Sabda Rasulullah SAW: "Allah memiliki seratus bagian Rahman (kasih), yang satu bagian disebarkannya ke seluruh dunia sehingga seekor kuda mengangkat kakinya karena takut menginjak anaknya yang baru lahir ..."
Pernikahan adalah satu-satunya cara yang dihalalkan dalam Islam bagi seorang perempuan dan laki-laki non muhrim untuk menjalin cinta dan kasih. Tapi menikah itu tidak semudah membalik telapak tangan. Ia adalah proses yang mudah tanpa harus dimudah-mudahkan, proses yang sulit tanpa harus dibuat rumit. Saat seorang laki-laki menjawab “qabiltu nikaakhahaa...” dalam ijab qabul, saat itulah dimensi baru bagi keduanya dimulai. Seorang perempuan dalam sekejap mempunyai predikat baru sebagai seorang istri, dan seorang laki-laki akan berubah status menjadi seorang suami. Status baru yang dibelakangnya mengekor beribu-ribu konsekuensi yang baru juga.
Ketika kita memutuskan untuk menikah, seharusnya kita telah bersepakat untuk mempertemukan tidak hanya seorang laki-laki dan perempuan, tapi juga dua pemikiran, dua sudut pandang, dua karakteristik, dua kebiasaan, bahkan dua keluarga besar dan dua kebudayaan. Ibarat sebuah pepatah, “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, perbedaan itu pasti akan ada. Kesiapan menikah adalah kesiapan untuk menerima perbedaan, kemauan untuk berubah, keinginan untuk mengenal lebih jauh, kesiapan untuk menerima pasangan kita apa adanya dan kesediaan untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi mengedepankan kepentingan dan kebutuhan bersama.
Bukan sekedar keinginan, menikah membutuhkan persiapan yang tidak mudah. Bahkan, ketika pernikahan itu sudah terlaksana pun, proses pembelajaran itu harus tetap kita lakukan. Ada suatu perbedaan besar yang harus kita sadari antara penggunaan kata 'ingin' dan 'siap'. Suatu keinginan yang tidak diikuti oleh proses mempersiapkan diri, ia hanya akan berakhir sebagai suatu mimpi kosong di siang bolong. Sementara, parameter kesiapan setiap orang hanya dirinya dan Allah saja yang tahu. Pun ketika kita melihat seorang laki-laki atau perempuan yang kita anggap cukup siap untuk menikah, ketika keinginan itu tidak tumbuh dalam diri mereka, maka pernikahan itu akan sulit untuk terealisasi. Tentunya, tanpa menafikan bahwa semua itu berada dalam wilayah kekuasaan Allah. Yaitu untuk menentukan kapan kita akan menikah, di mana, dengan siapa, dan dalam kondisi seperti apa, hanya Allah yang mampu menjawab itu semua...
Ya, semoga pernikahan bukan hanya menjadi keinginan kita belaka, tapi merupakan sesuatu yang kita upayakan dapat terlaksana dalam koridor syari'at-Nya, tentunya juga sebagai salah satu upaya untuk menggapai ridho-Nya. Wallahu a’lam.
0 Tanggapan untuk "Menikah : Bukan Sebatas Keinginan Belaka"
Post a Comment