Renungan Ilir-Ilir
Wednesday, November 10, 2010
Tambahkan komentar
Oleh: Emha Ainun Najib dalam album Kyai Kanjeng: Menyorong Rembulan
Saya ingin mengajak engkau semua memasuki dunia ilir-ilir...
Lir ilir tandure wus sumilir,tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar... Kanjeng Sunan Ampel seakan-akan baru hari ini bertutur kepada kita, tentang kita, tentang sagala sesuatu yang kita mengalaminya sendiri namun tak kunjung sanggup kita mengerti. Sejak lima abad silam syair itu ia telah lantunkan dan tidak ada jaminan bahwa sekarang kita sudah faham. Padahal kata-kata beliau itu mengeja kehidupan kita ini sendiri, alfa, beta , alif, ba’, ta’, kebingungan sejarah kita dari hari ke hari, sejarah tentang sebuah negeri yang puncak kerusakannya terletak pada ketidaksanggupan para penghuninya untuk mengakui betapa kerusakan itu sudah tidak terperi.
Menggeliatlah dari matimu, tutur Sang Sunan. Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun. Bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu. Sungguh negeri ini adalah penggalan sorga. Sorga seakan-akan pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya. Dan cipratan keindahannya itu bernama Indonesia Raya.
Kau bisa tanam benih kesejahteraan apa saja di atas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan. Tidak mungkin kau temukan makhluk Tuhanmu kelaparan di tengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-gandeng mesra ini. Bahkan bisa engkau selenggarakan dan rayakan pengantin-pengantin pembangunan lebih dari yang bisa dicapai oleh negeri-nergeri lain yang manapun.
Tapi kita memang telah tidak mensyukuri rahmat sepenggal sorga ini. Kita telah memboroskan anugerah Tuhan ini melalui cocok tanam ketidak-adilan dan panen-panen kerakusan.
Cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot-iro... Kanjeng Sunan tidak memilih figur misalnya, "Pak Jendral, Pak Jendral", juga bukan "intelektual, intelektual, ulama’ ulama’, seniman seniman, sastrawan sastrawan" atau apapun lainnya, tetapi "cah angon, cah angon..." Beliau juga menuturkan, "Penekno blimbing kuwi", bukan "Penekno pelem kuwi", bukan "Penekno sawo kuwi" atau bukan penekno buah yang lain, tapi penekno blimbing, bergigir lima. Terserah apa tafsirmu mengenai lima. Yang jelas harus ada yang memanjat pohon yang licin itu, lunyu-lunyu penekno agar blimbing bisa kita capai bersama-sama.
Dan yang memanjat harus "bocah angon", anak gembala. Tentu saja ia boleh seorang doktor, boleh seorang seniman, boleh seorang kiai, boleh seorang jendral, atau siapapun --namun dia harus memiliki daya angon, daya menggembalakan. Kesanggupan untuk ngemong semua pihak. Karakter untuk merangkul dan memesrai siapa saja sesama saudara sebangsa. Determinasi yang menciptakan garis resultan kedamaian bersama. Pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima oleh semua warna, semua golongan, semua kecenderungan
Bocah angon adalah seorang pemimpin nasional, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu gerombolan. Selicin apapun pohon-pohon tinggi reformasi ini, sang bocah angon harus memanjatnya. Harus dipanjat sampai selamat memperoleh buahnya, bukan ditebang, dirobohkan atau diperebutkan.
Dan air saripati blimbing lima gigir itu diperlukan oleh bangsa ini untuk mencuci
pakaian nasionalnya. Pakaian adalah akhlaq. Pakaian adalah sesuatu yang menjadikan manusia bukan binatang. Kalau engkau tidak percaya berdirilah engkau di depan pasar dan copotlah pakaianmu, maka engkau kehilangan segala macam harkatmu sebagai manusia. Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia. Pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral dan sistem nilai. Sistem nilai itulah yang harus kita cuci dengan pedoman lima.
Dodot-iro dodot-iro kumitir bedah ing pinggir, dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore, mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane, yo surako, surak iyyoo!
Satu tembang tidak selesai ditafsirkan dengan seribu jilid buku. Satu lantunan syair tidak akan selesai ditafsirkan dengan waktu seribu bulan dan seribu orang melakukannya. Aku ingin mengajakmu berkeliling untuk memandang warna-warni yang bermacam-macam dengan membiarkan mereka dengan warnanya masing-masing, agar kita mengerti dengan hati dan ketulusan kita, apa muatan kalbu mereka mengenai lir ilir, mengenai ijo royo-royo, mengenai temanten anyar, mengenai bocah angon dan blimbing, mengenai mbasuh dodot iro, mengenai kumitir bedah ing pinggir, yang akan kita bicarakan tentu saja kapan saja bersama-sama, tapi aku ingin mengajakmu untuk mendengarkan siapa saja di antara saudara-saudara kita tanpa perlu kita larang-larang untuk menjadi ini atau manjadi itu, asalkan kita bersepakat bahwa bersama-sama mereka semua kita akan menyumbangkan yang terbaik bagi semuanya, bukan hanya bagi ini atau itu, bukan hanya bagi yang di sini atau yang di sana.
Saya ingin mengajak engkau semua memasuki dunia ilir-ilir...
Lir ilir tandure wus sumilir,tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar... Kanjeng Sunan Ampel seakan-akan baru hari ini bertutur kepada kita, tentang kita, tentang sagala sesuatu yang kita mengalaminya sendiri namun tak kunjung sanggup kita mengerti. Sejak lima abad silam syair itu ia telah lantunkan dan tidak ada jaminan bahwa sekarang kita sudah faham. Padahal kata-kata beliau itu mengeja kehidupan kita ini sendiri, alfa, beta , alif, ba’, ta’, kebingungan sejarah kita dari hari ke hari, sejarah tentang sebuah negeri yang puncak kerusakannya terletak pada ketidaksanggupan para penghuninya untuk mengakui betapa kerusakan itu sudah tidak terperi.
Menggeliatlah dari matimu, tutur Sang Sunan. Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun. Bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu. Sungguh negeri ini adalah penggalan sorga. Sorga seakan-akan pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya. Dan cipratan keindahannya itu bernama Indonesia Raya.
Kau bisa tanam benih kesejahteraan apa saja di atas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan. Tidak mungkin kau temukan makhluk Tuhanmu kelaparan di tengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-gandeng mesra ini. Bahkan bisa engkau selenggarakan dan rayakan pengantin-pengantin pembangunan lebih dari yang bisa dicapai oleh negeri-nergeri lain yang manapun.
Tapi kita memang telah tidak mensyukuri rahmat sepenggal sorga ini. Kita telah memboroskan anugerah Tuhan ini melalui cocok tanam ketidak-adilan dan panen-panen kerakusan.
Cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot-iro... Kanjeng Sunan tidak memilih figur misalnya, "Pak Jendral, Pak Jendral", juga bukan "intelektual, intelektual, ulama’ ulama’, seniman seniman, sastrawan sastrawan" atau apapun lainnya, tetapi "cah angon, cah angon..." Beliau juga menuturkan, "Penekno blimbing kuwi", bukan "Penekno pelem kuwi", bukan "Penekno sawo kuwi" atau bukan penekno buah yang lain, tapi penekno blimbing, bergigir lima. Terserah apa tafsirmu mengenai lima. Yang jelas harus ada yang memanjat pohon yang licin itu, lunyu-lunyu penekno agar blimbing bisa kita capai bersama-sama.
Dan yang memanjat harus "bocah angon", anak gembala. Tentu saja ia boleh seorang doktor, boleh seorang seniman, boleh seorang kiai, boleh seorang jendral, atau siapapun --namun dia harus memiliki daya angon, daya menggembalakan. Kesanggupan untuk ngemong semua pihak. Karakter untuk merangkul dan memesrai siapa saja sesama saudara sebangsa. Determinasi yang menciptakan garis resultan kedamaian bersama. Pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima oleh semua warna, semua golongan, semua kecenderungan
Bocah angon adalah seorang pemimpin nasional, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu gerombolan. Selicin apapun pohon-pohon tinggi reformasi ini, sang bocah angon harus memanjatnya. Harus dipanjat sampai selamat memperoleh buahnya, bukan ditebang, dirobohkan atau diperebutkan.
Dan air saripati blimbing lima gigir itu diperlukan oleh bangsa ini untuk mencuci
pakaian nasionalnya. Pakaian adalah akhlaq. Pakaian adalah sesuatu yang menjadikan manusia bukan binatang. Kalau engkau tidak percaya berdirilah engkau di depan pasar dan copotlah pakaianmu, maka engkau kehilangan segala macam harkatmu sebagai manusia. Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia. Pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral dan sistem nilai. Sistem nilai itulah yang harus kita cuci dengan pedoman lima.
Dodot-iro dodot-iro kumitir bedah ing pinggir, dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore, mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane, yo surako, surak iyyoo!
Satu tembang tidak selesai ditafsirkan dengan seribu jilid buku. Satu lantunan syair tidak akan selesai ditafsirkan dengan waktu seribu bulan dan seribu orang melakukannya. Aku ingin mengajakmu berkeliling untuk memandang warna-warni yang bermacam-macam dengan membiarkan mereka dengan warnanya masing-masing, agar kita mengerti dengan hati dan ketulusan kita, apa muatan kalbu mereka mengenai lir ilir, mengenai ijo royo-royo, mengenai temanten anyar, mengenai bocah angon dan blimbing, mengenai mbasuh dodot iro, mengenai kumitir bedah ing pinggir, yang akan kita bicarakan tentu saja kapan saja bersama-sama, tapi aku ingin mengajakmu untuk mendengarkan siapa saja di antara saudara-saudara kita tanpa perlu kita larang-larang untuk menjadi ini atau manjadi itu, asalkan kita bersepakat bahwa bersama-sama mereka semua kita akan menyumbangkan yang terbaik bagi semuanya, bukan hanya bagi ini atau itu, bukan hanya bagi yang di sini atau yang di sana.
0 Tanggapan untuk "Renungan Ilir-Ilir"
Post a Comment