Seorang Wanita dalam Sebuah Misi
Sunday, November 14, 2010
Tambahkan komentar
Sidra Khan melaporkan tentang ajakan Aisha Bhutta pada dunia untuk memeluk Islam
The Guardian (London) Kamis 8 Mei 1997.
Aisha Bhutta, dengan nama gadisnya Debbie Rogers, tampak tenang. Dia duduk di atas sofa dalam ruangan depan yang luas di rumah tempat tinggalnya di Cowdaddens, Glasgow. Dindingnya dihiasi dengan kutipan dari Alquran, sebuah jam khusus untuk mengingatkan keluarganya akan jam salat dan sebuah poster kota suci Mekah. Mata biru Aisha yang tajam bersinar dengan penuh semangat laksana semangat pengabar injil, dia tersenyum dengan pancaran cahaya yang hanya dimiliki oleh orang mukmin sejati. Wajahnya sangat jelas merupakan wajah gadis Skotland--tidak ada basa-basi, berselera humor baik--tetapi tertutup oleh hijab dengan baik.
Bagi seorang gadis Kristen yang baik yang pindah memeluk Islam dan menikah dengan laki-laki muslim, hal ini cukup luar biasa. Tetapi lebih dari itu, dia juga telah mengislamkan orang tuanya, kebanyakan keluarganya dan paling tidak tiga puluh orang teman dan tetangganya.
Keluarganya adalah pemeluk Kristen keras dengan mereka, Rogers biasanya menghadiri pertemuan Pasukan keselamatan. Ketika seluruh remaja di Britania mencium poster George Michael mereka dan mengucapkan selamat malam, Rogers punya foto Yesus tergantung di dinding kamarnya. Kemudian dia dapati bahwa Kristen tidak cukup; terlalu banyak pertanyaan yang tak terjawab dan dia merasa tidak puas dengan kekurangan struktur yang teratur dalam keyakinannya. "Ada lebih banyak hal yang harus kupatuhi daripada berdoa ketika aku merasa menyukainya."
Aisha pertama kali melihat calon suaminya, Muhammad Bhutta, ketika dia berumur 10 tahun dan menjadi pelanggan tetap di sebuah toko, yang dikelola keluarganya. Dia melihatnya sedang salat di belakang. "Ada keridhaan dan kedamaian dalam apa yang dilakukannya. Dia bilang dia adalah seorang Muslim. Saya berkata, "Apa itu Muslim?"
Selanjutnya dengan bantuannya, dia mulai melihat Islam lebih dalam. Pada usia 17 tahun, dia sudah membaca seluruh isi Alquran dalam bahasa Arab. "Segala sesuatunya saya baca," ucapnya, "Menimbulkan suatu perasaan."
Dia membuat keputusan untuk memeluk Islam pada umut 16 tahun. "Ketika saya mengucapkan kalimat syahadat, saat itu terasa bagaikan melepas beban berat yang selama ini saya pikul di pundak. Saya merasa seperti bayi yang baru dilahirkan."
Meskipun sudah memeluk Islam, orang tua Muhammad menentang pernikahan mereka. Mereka memandang dirinya sebagai seorang gadis barat yang akan menggiring anak tertua mereka pada kesesatan, dan membuat jelek nama keluarga. Dia sebagaimana diyakini oleh bapaknya Muhammad adalah "musuh terbesar." Walaupun demikian, pasangan ini menikah di masjid setempat. Aisha memakai pakaian yang dijahit tangan oleh ibunya Muhammad dan saudari-saudarinya yang menyelinap menghadiri upacara menentang keinginan dari bapaknya yang menolak untuk hadir.
Adalah nenek tertuanya yang membuka jalan dan ikatan antara para wanita. Dia datang dari Pakistan di mana pernikahn campur ras merupakan hal yang tabu, dan dia mendesak untuk bertemu dengan Aisha. Dia sangat terkesan dengan fakta bahwa dia telah belajar Alquran dan bahasa Punjab kemudian dia meyakinkan yang lainnya. Perlahan, Aisha, sekarang 32 tahun, menjadi bagian dari keluarga itu. Orang tua Aisha, Michael dan Marjory Rogers, bagaimanapun menghadiri pernikahan, mereka lebih khawatir dengan pakaian yang sekarang dipakai anak gadisnya dan apa yang akan dipikirkan para tetangga.
Enam tahun kemudian, Aisha memulai misi untuk mengislamkan mereka dan keluarganya yang lain, kecuali saudari perempuannya (saya masih berusaha). "Suami saya dan saya berusaha mengislamkan ibu dan ayah, memberitahu mereka tentang Islam dan mereka melihat perubahan pada diriku, seperti, saya telah berhenti membantah." Ternyata ayah Aisha lebih sulit direkrut, maka dia mendapat bantuan dari ibunya yang baru Islam (yang telah meninggal karena kanker). "Ibu dan saya terus berbicara pada ayah tentang Islam dan ketika kami sedang duduk di sofa dapur, suatu hari ayah bilang, "Apa kata-kata yang kalian ucapkan ketika menjadi seorang Muslim?" "Saya dan Ibu langsung melompat ke atasnya."
Tiga tahun kemudian, saudara Aisha memeluk Islam melalui telepon--terima kasih pada British Telecom. Kemudian istri dan anak-anaknya ikut, dan diikuti oleh anak laki-laki dari saudarinya. Ini tidak berhenti di situ. Keluarganya memeluk Islam. Aisha mengalihkan perhatiannya pada orang-orang Cowcadden.
Setiap Senin selama 13 tahun yang lalu, Aisha mengajar tentang Islam untuk wanita-wanita Skotlandia. Sejauh ini dia telah membantu mengislamkan lebih dari 30 orang. Para wanita itu berasal dari latar belakang aturan yang membingungkan. Trudy, seorang dosen di Universitas Glasgow dan mantan seorang Katholik, menghadiri pelajaran Aisha murni karena ia ditugasi untuk menulis beberapa penelitian. Tetapi setelah enam bulan mengikuti, dia masuk Islam, dan memutuskan bahwa Kristen terlalu berbelit-belit dengan ketidakkonsistenan logika. Tidak seperti Aisha, Trudy memilih untuk tidak memakai hijab, karena yakin bahwa itu interpetasi kaum lelaki terhadap Alquran. Keluarganya tidak tahu bahwa dia telah masuk Islam.
"Bisa saya katakan bahwa dia mulai terpengaruh dengan pembicaraan," kata Aisha. Bagaimana dia bisa katakan? "Saya tidak tahu, itu hanya perasaan." Kelasnya terdiri dari gadis-gadis muslim yang terpengaruh idealisme barat dan perlu diselamatkan, wanita muslim yang berpengalaman yang ingin sebuah forum terbuka untuk diskusi mengasingkan mereka di masjid setempat yang didominasi pria, dan ini benar-benar menarik dalam Islam. Aisha menyambut baik semua pertanyaan. "Kita tidak bisa mengharapkan orang-orang untuk percaya secara buta."
Suaminya, Muhammad Bhutta, sekarang 41 tahun, kelihatan tidak terlalu tergerak untuk mengislamkan orang laki-laki Skotlandia. Dia biasanya membantu restoran keluarga, tetapi tujuan utamanya dalam hidup ini adalah untuk menjamin lima anak pasangan ini tumbuh sebagai muslim. Yang tertua, Safia, hampir 14 tahun tidak menolak rasa malu untuk mengislamkan orang. Suatu hari dia bertemu seorang wanita di jalan dan membawakan belanjaannya, wanita itu menghadiri pelajaran Aisha dan sekarang dia seorang muslim.
"Saya bisa katakana dengan jujur bahwa saya tidak pernah menyesalinya," ucap Aisha tentang masuk Islamnya dia. "Setiap pernikahan mengalami pasang surut dan kadang-kadang anda butuh sesuatu untuk mendorong anda keluar dari kesulitan. Tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap kesulitan itu memiliki kemudahan." Maka ketika anda menghadapi situasi sulit, anda berusaha agar kemudahan itu datang." Muhammad lebih romantis, "Saya merasa kami sudah saling mengenal satu sama lain selama berabad-abad dan tidak terpisahkan satu sama lain. Menurut Islam, anda tidak hanya teman hidup, anda bisa menjadi teman di surga dengan baik selamanya. Itu merupakan hal yang indah, anda tahu itu."
Sumber: Diterjemahkan dari a Woman on a Mission
The Guardian (London) Kamis 8 Mei 1997.
Aisha Bhutta, dengan nama gadisnya Debbie Rogers, tampak tenang. Dia duduk di atas sofa dalam ruangan depan yang luas di rumah tempat tinggalnya di Cowdaddens, Glasgow. Dindingnya dihiasi dengan kutipan dari Alquran, sebuah jam khusus untuk mengingatkan keluarganya akan jam salat dan sebuah poster kota suci Mekah. Mata biru Aisha yang tajam bersinar dengan penuh semangat laksana semangat pengabar injil, dia tersenyum dengan pancaran cahaya yang hanya dimiliki oleh orang mukmin sejati. Wajahnya sangat jelas merupakan wajah gadis Skotland--tidak ada basa-basi, berselera humor baik--tetapi tertutup oleh hijab dengan baik.
Bagi seorang gadis Kristen yang baik yang pindah memeluk Islam dan menikah dengan laki-laki muslim, hal ini cukup luar biasa. Tetapi lebih dari itu, dia juga telah mengislamkan orang tuanya, kebanyakan keluarganya dan paling tidak tiga puluh orang teman dan tetangganya.
Keluarganya adalah pemeluk Kristen keras dengan mereka, Rogers biasanya menghadiri pertemuan Pasukan keselamatan. Ketika seluruh remaja di Britania mencium poster George Michael mereka dan mengucapkan selamat malam, Rogers punya foto Yesus tergantung di dinding kamarnya. Kemudian dia dapati bahwa Kristen tidak cukup; terlalu banyak pertanyaan yang tak terjawab dan dia merasa tidak puas dengan kekurangan struktur yang teratur dalam keyakinannya. "Ada lebih banyak hal yang harus kupatuhi daripada berdoa ketika aku merasa menyukainya."
Aisha pertama kali melihat calon suaminya, Muhammad Bhutta, ketika dia berumur 10 tahun dan menjadi pelanggan tetap di sebuah toko, yang dikelola keluarganya. Dia melihatnya sedang salat di belakang. "Ada keridhaan dan kedamaian dalam apa yang dilakukannya. Dia bilang dia adalah seorang Muslim. Saya berkata, "Apa itu Muslim?"
Selanjutnya dengan bantuannya, dia mulai melihat Islam lebih dalam. Pada usia 17 tahun, dia sudah membaca seluruh isi Alquran dalam bahasa Arab. "Segala sesuatunya saya baca," ucapnya, "Menimbulkan suatu perasaan."
Dia membuat keputusan untuk memeluk Islam pada umut 16 tahun. "Ketika saya mengucapkan kalimat syahadat, saat itu terasa bagaikan melepas beban berat yang selama ini saya pikul di pundak. Saya merasa seperti bayi yang baru dilahirkan."
Meskipun sudah memeluk Islam, orang tua Muhammad menentang pernikahan mereka. Mereka memandang dirinya sebagai seorang gadis barat yang akan menggiring anak tertua mereka pada kesesatan, dan membuat jelek nama keluarga. Dia sebagaimana diyakini oleh bapaknya Muhammad adalah "musuh terbesar." Walaupun demikian, pasangan ini menikah di masjid setempat. Aisha memakai pakaian yang dijahit tangan oleh ibunya Muhammad dan saudari-saudarinya yang menyelinap menghadiri upacara menentang keinginan dari bapaknya yang menolak untuk hadir.
Adalah nenek tertuanya yang membuka jalan dan ikatan antara para wanita. Dia datang dari Pakistan di mana pernikahn campur ras merupakan hal yang tabu, dan dia mendesak untuk bertemu dengan Aisha. Dia sangat terkesan dengan fakta bahwa dia telah belajar Alquran dan bahasa Punjab kemudian dia meyakinkan yang lainnya. Perlahan, Aisha, sekarang 32 tahun, menjadi bagian dari keluarga itu. Orang tua Aisha, Michael dan Marjory Rogers, bagaimanapun menghadiri pernikahan, mereka lebih khawatir dengan pakaian yang sekarang dipakai anak gadisnya dan apa yang akan dipikirkan para tetangga.
Enam tahun kemudian, Aisha memulai misi untuk mengislamkan mereka dan keluarganya yang lain, kecuali saudari perempuannya (saya masih berusaha). "Suami saya dan saya berusaha mengislamkan ibu dan ayah, memberitahu mereka tentang Islam dan mereka melihat perubahan pada diriku, seperti, saya telah berhenti membantah." Ternyata ayah Aisha lebih sulit direkrut, maka dia mendapat bantuan dari ibunya yang baru Islam (yang telah meninggal karena kanker). "Ibu dan saya terus berbicara pada ayah tentang Islam dan ketika kami sedang duduk di sofa dapur, suatu hari ayah bilang, "Apa kata-kata yang kalian ucapkan ketika menjadi seorang Muslim?" "Saya dan Ibu langsung melompat ke atasnya."
Tiga tahun kemudian, saudara Aisha memeluk Islam melalui telepon--terima kasih pada British Telecom. Kemudian istri dan anak-anaknya ikut, dan diikuti oleh anak laki-laki dari saudarinya. Ini tidak berhenti di situ. Keluarganya memeluk Islam. Aisha mengalihkan perhatiannya pada orang-orang Cowcadden.
Setiap Senin selama 13 tahun yang lalu, Aisha mengajar tentang Islam untuk wanita-wanita Skotlandia. Sejauh ini dia telah membantu mengislamkan lebih dari 30 orang. Para wanita itu berasal dari latar belakang aturan yang membingungkan. Trudy, seorang dosen di Universitas Glasgow dan mantan seorang Katholik, menghadiri pelajaran Aisha murni karena ia ditugasi untuk menulis beberapa penelitian. Tetapi setelah enam bulan mengikuti, dia masuk Islam, dan memutuskan bahwa Kristen terlalu berbelit-belit dengan ketidakkonsistenan logika. Tidak seperti Aisha, Trudy memilih untuk tidak memakai hijab, karena yakin bahwa itu interpetasi kaum lelaki terhadap Alquran. Keluarganya tidak tahu bahwa dia telah masuk Islam.
"Bisa saya katakan bahwa dia mulai terpengaruh dengan pembicaraan," kata Aisha. Bagaimana dia bisa katakan? "Saya tidak tahu, itu hanya perasaan." Kelasnya terdiri dari gadis-gadis muslim yang terpengaruh idealisme barat dan perlu diselamatkan, wanita muslim yang berpengalaman yang ingin sebuah forum terbuka untuk diskusi mengasingkan mereka di masjid setempat yang didominasi pria, dan ini benar-benar menarik dalam Islam. Aisha menyambut baik semua pertanyaan. "Kita tidak bisa mengharapkan orang-orang untuk percaya secara buta."
Suaminya, Muhammad Bhutta, sekarang 41 tahun, kelihatan tidak terlalu tergerak untuk mengislamkan orang laki-laki Skotlandia. Dia biasanya membantu restoran keluarga, tetapi tujuan utamanya dalam hidup ini adalah untuk menjamin lima anak pasangan ini tumbuh sebagai muslim. Yang tertua, Safia, hampir 14 tahun tidak menolak rasa malu untuk mengislamkan orang. Suatu hari dia bertemu seorang wanita di jalan dan membawakan belanjaannya, wanita itu menghadiri pelajaran Aisha dan sekarang dia seorang muslim.
"Saya bisa katakana dengan jujur bahwa saya tidak pernah menyesalinya," ucap Aisha tentang masuk Islamnya dia. "Setiap pernikahan mengalami pasang surut dan kadang-kadang anda butuh sesuatu untuk mendorong anda keluar dari kesulitan. Tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap kesulitan itu memiliki kemudahan." Maka ketika anda menghadapi situasi sulit, anda berusaha agar kemudahan itu datang." Muhammad lebih romantis, "Saya merasa kami sudah saling mengenal satu sama lain selama berabad-abad dan tidak terpisahkan satu sama lain. Menurut Islam, anda tidak hanya teman hidup, anda bisa menjadi teman di surga dengan baik selamanya. Itu merupakan hal yang indah, anda tahu itu."
Sumber: Diterjemahkan dari a Woman on a Mission
0 Tanggapan untuk "Seorang Wanita dalam Sebuah Misi"
Post a Comment