Kelezatan Tiada Bandingnya
Monday, February 21, 2011
Tambahkan komentar
Ali radhiallahu anhu mengatakan, ada 4 momen kebaikan tertentu yang paling berat dilakukan. Yakni memaafkan ketika marah, berderma ketika pailit, menjaga diri dari dosa (iffah) ketika sendirian dan menyampaikan kebenaran pada orang yang ditakuti keburukannya atau diharapkan kebaikannya.
Saudaraku, renungkanlah. Momen-momen seperti itu sebenarnya yang sering menjadi celah rawan perampasan dan pencurian syetan. Sulit sekali kita memberi maaf ketika justru amarah seseorang meletup-letup dan dalam kondisi kita mampu melampiaskan amarah. Sulit sekali memberi, apapun, ketika kita sendiri sangat membutuhkannya. Sulit sekali memelihara diri dari dosa, bila kesempatan untuk melakukannya berulangkali terbuka lebar di depan mata kita, dan tidak ada orang lain yang mengetahui kita jika kita melakukannya. Lalu, seberapa mampu kita menyampaikan kebenaran pada orang yang kita takuti? Dan seberapa mampu kita menyampaikan kebenaran yang bisa menyakiti orang yang kita menanam harapan kepadanya? Itulah momen-momen yang sering membuat manusia tergelincir.
Saudaraku, ada satu kata yang sangat singkat untuk mengatasinya. Keikhlasan. Itu kuncinya. Keikhlasan membawa seseorang mudah memaafkan di kala marah. Ikhlas juga yang menjadikan seseorang ringan memberi meski ia membutuhkan. Ikhlas, yang membuat seseorang tak memandang situasi dalam beramal dan menjauhi maksiat, meski tak seorangpun melihat. Ikhlas juga yang membuat orang tak memandang risiko apapun dalam ia menyampaikan kebenaran.
Berkat ikhlas, Rasulullah saw tercatat berhasil melewati momen-momen rawan tersebut. Rasul adalah sosok yang paling mudah memberi maaf, paling banyak memberi laksana angin, paling terpelihara dari penyimpangan di manapun, paling berani menyampaikan kebenaran pada siapapun. Benarlah ucapan Ibnul Jauzi rahimahullah, “Barangsiapa mengintip pahala (yang dituai karena keikhlasan), niscaya menjadi ringanlah tugas yang berat.” (Ar Raqa-iq, Muhammad Ahmad Rasyid)
Saudaraku, lihatlah wujud ketulusan dari keikhlasan lain yang dimiliki Ibnu Abbas. “Bila aku mendengar berita tentang hujan yang turun di suatu daerah, maka aku akan gembira meskipun aku di daerah itu tak mempunyai binatang ternak atau padang rumput. Bila aku membaca sesuatu ayat dari Kitabullah, maka aku ingin agar kaum muslimin semua memahami ayat itu seperti apa yang aku ketahui.”
Orang seperti Ibnu Abbas tak pernah memikirkan apa yang ia peroleh dari kebaikan yang ia lakukan. Ia cukup merasa bahagia, hanya dengan mendengar informasi kebaikan yang mungkin tidak terkait langsung dengan kepentingan pribadinya. Lebih dalam lagi keikhlasan yang diungkapkan oleh Imam Syafi’I, “Aku ingin kalau ilmu ini tersebar tanpa diketahui bila aku yang menyebarkannya….”
Saudaraku, dengan keikhlasan, kita jadi tak mudah diperdaya oleh nafsu. Dan itulah nikmat yang hanya dirasakan para mukhlisain. Seperti tertuang dalam nasihat Ibnul Qayyim, bahwa mengutamakan kelezatan iffah (menjaga diri dari perbuatan durhaka), lebih lezat daripada kelezatan maksiat. Dalam kesempatan lain ia mengatakan, “Rasa sakit (akibat azab Allah) yang ditimbulkan dari mengikuti hawa nafsu, lebih dahsyat daripada kelezatan sesaat yang dirasakan karena memperturutkan hawa nafsu.”
Begitulah. Sampai akhirnya kita benar-benar mengerti dan meresapi perkataan salafusalih yang dikutip Syaikh Ahmad Muhammad Rasyid dalam Al Awa’iq, “Fi quwwati qahril hawa ladzah, taziidu alaa kulli ladzah.” Berusaha sekuat tenaga menekan hasa nafsu itu adalah kelezatan. Kelezatan yang berada di atas kelezatan……
Muhammad Nur Sani
Dikutip dari rubrik Ruhaniyat, Majalah Islam Tarbawi Edisi 22 th. 3
Saudaraku, renungkanlah. Momen-momen seperti itu sebenarnya yang sering menjadi celah rawan perampasan dan pencurian syetan. Sulit sekali kita memberi maaf ketika justru amarah seseorang meletup-letup dan dalam kondisi kita mampu melampiaskan amarah. Sulit sekali memberi, apapun, ketika kita sendiri sangat membutuhkannya. Sulit sekali memelihara diri dari dosa, bila kesempatan untuk melakukannya berulangkali terbuka lebar di depan mata kita, dan tidak ada orang lain yang mengetahui kita jika kita melakukannya. Lalu, seberapa mampu kita menyampaikan kebenaran pada orang yang kita takuti? Dan seberapa mampu kita menyampaikan kebenaran yang bisa menyakiti orang yang kita menanam harapan kepadanya? Itulah momen-momen yang sering membuat manusia tergelincir.
Saudaraku, ada satu kata yang sangat singkat untuk mengatasinya. Keikhlasan. Itu kuncinya. Keikhlasan membawa seseorang mudah memaafkan di kala marah. Ikhlas juga yang menjadikan seseorang ringan memberi meski ia membutuhkan. Ikhlas, yang membuat seseorang tak memandang situasi dalam beramal dan menjauhi maksiat, meski tak seorangpun melihat. Ikhlas juga yang membuat orang tak memandang risiko apapun dalam ia menyampaikan kebenaran.
Berkat ikhlas, Rasulullah saw tercatat berhasil melewati momen-momen rawan tersebut. Rasul adalah sosok yang paling mudah memberi maaf, paling banyak memberi laksana angin, paling terpelihara dari penyimpangan di manapun, paling berani menyampaikan kebenaran pada siapapun. Benarlah ucapan Ibnul Jauzi rahimahullah, “Barangsiapa mengintip pahala (yang dituai karena keikhlasan), niscaya menjadi ringanlah tugas yang berat.” (Ar Raqa-iq, Muhammad Ahmad Rasyid)
Saudaraku, lihatlah wujud ketulusan dari keikhlasan lain yang dimiliki Ibnu Abbas. “Bila aku mendengar berita tentang hujan yang turun di suatu daerah, maka aku akan gembira meskipun aku di daerah itu tak mempunyai binatang ternak atau padang rumput. Bila aku membaca sesuatu ayat dari Kitabullah, maka aku ingin agar kaum muslimin semua memahami ayat itu seperti apa yang aku ketahui.”
Orang seperti Ibnu Abbas tak pernah memikirkan apa yang ia peroleh dari kebaikan yang ia lakukan. Ia cukup merasa bahagia, hanya dengan mendengar informasi kebaikan yang mungkin tidak terkait langsung dengan kepentingan pribadinya. Lebih dalam lagi keikhlasan yang diungkapkan oleh Imam Syafi’I, “Aku ingin kalau ilmu ini tersebar tanpa diketahui bila aku yang menyebarkannya….”
Saudaraku, dengan keikhlasan, kita jadi tak mudah diperdaya oleh nafsu. Dan itulah nikmat yang hanya dirasakan para mukhlisain. Seperti tertuang dalam nasihat Ibnul Qayyim, bahwa mengutamakan kelezatan iffah (menjaga diri dari perbuatan durhaka), lebih lezat daripada kelezatan maksiat. Dalam kesempatan lain ia mengatakan, “Rasa sakit (akibat azab Allah) yang ditimbulkan dari mengikuti hawa nafsu, lebih dahsyat daripada kelezatan sesaat yang dirasakan karena memperturutkan hawa nafsu.”
Begitulah. Sampai akhirnya kita benar-benar mengerti dan meresapi perkataan salafusalih yang dikutip Syaikh Ahmad Muhammad Rasyid dalam Al Awa’iq, “Fi quwwati qahril hawa ladzah, taziidu alaa kulli ladzah.” Berusaha sekuat tenaga menekan hasa nafsu itu adalah kelezatan. Kelezatan yang berada di atas kelezatan……
Muhammad Nur Sani
Dikutip dari rubrik Ruhaniyat, Majalah Islam Tarbawi Edisi 22 th. 3
0 Tanggapan untuk "Kelezatan Tiada Bandingnya"
Post a Comment