M i m p i
Sunday, February 13, 2011
Tambahkan komentar
Dia Cantik. Meskipun wajahnya telah dihiasi kerut merut. Rambutnya hampir separoh telah memutih, dan sepertinya itu asli, bukan dicat. Gaya berpakaiannya cukup trendi. Kadang-kadang mengenakan rok atau celana jeans sedengkul. Kaos masa kini dilengkapi dengan vest denim pendek. Sepatu kets putih dan kaos kaki. Rambutnya kadang diikat di atas tengkuk, kadang dikepang dengan pita-pita banyak. Hampir setiap pagi, saat saya berangkat ke kantor saya bertemu dengannya. Kadang-kadang sore juga.
Beberapa kali saya lihat dia duduk di atas mobil yang terparkir di pinggir jalan. Bergaya ala fotomodel, sambil mengisap rokok yang terselip diantara jari-jemarinya. Kadang dia sibuk memunguti batu-batu dan memasukkanya ke kantong plastik. Kadang dia berjalan dengan tentengan di kiri kanan, sedang bahunya menyandang tas trendi pula. Ingin saya menyapanya, tapi niatan itu tak pernah kesampaian. Dia selalu tampak sibuk dengan dunianya sendiri. Pernah saya bertanya pada tukang warung rokok di pinggir jalan tempat perempuan itu biasa mangkal. Dimana rumahnya? Apa yang terjadi dengannya? Tapi tak seorang pun tahu. Yang mereka tahu adalah, wanita itu gila. Hilang ingatan, meski tak sepenuhnya. Hingga saya jadi sering mengira-ngira, ada apakah dengannya?
Melihat tingkah lakuknya, saya menduga, mungkin dulu ia pernah bermimpi menjadi seorang bintang, fotomodel, peragawati atau apapun yang berbau selebritis. Terlihat dari pakaiannya yang selalu trendi dan gayanya yang bak fotomodel. Atau mungkin juga ia dulu bercita-cita menjadi seorang aktifis, terlihat dari sikapnya yang selalu sibuk dan sibuk. Atau juga,… entahlah!
***
Mimpi. Siapa sih manusia di dunia ini yang tak memiliki mimpi? Sesederhana apa pun -dan meskipun orang tak menyebutnya dengan mimpi- saya yakin setiap kita punya mimpi. Punya keinginan yang suatu saat ingin diwujudkan. Memiliki harapan dan cita-cita, yang kita berusaha semaksimal mungkin untuk menggapainya.
Dulu ketika kecil saya suka membayangkan menjadi anak orang kaya, memiliki rumah megah seperti rumah sahabat saya. Impian itu sering saya imajinasikan saat bermain rumah-rumahan dari tanah. Saya bangun rumahnya seperti impian saya, dan saya buat kehidupan penghuninya seperti cerita yang saya inginkan, yang saya impikan sebagaimana saya lihat di tipi.
Ketika saya menginjak remaja, saya bermimpi menjadi selebriti, meskipun sekadar menjadi selebriti tingkat kelas, atau anak gaul sekolah yang dikenal teman-teman. Saat memasuki bangku kuliah, saya iri dengan teman-teman yang aktif di senat maupun di Unit Kegiatan Mahasiswa Islam. Saya berusaha keras untuk bisa masuk dan aktif dalam jajaran mereka. Saat saya selesai kuliah, belasan impian, juga idealita, saya miliki dan menjadi obsesi.
Namun jika saya telusuri, nyaris semua kenyataan hidup yang saya jalani berbeda jauh dan bertolak belakang dengan impian dan idealita saya. Mengapa?
Ada tiga pelajaran besar yang saya peroleh. Satu, bisa jadi saya kurang kuat berusaha, kurang tekun menjalani, kurang sabar melewati tantangan. Mudah capek, mudah ngambek, mudah patah arang. Padahal, mungkin saja usaha saya belum ada apa-apanya dibanding mereka yang berhasil meraih impiannya. Bahasa ilmiahnya, kurang memiliki motivasi berprestasi.
Kedua, bisa jadi impian saya yang terlalu tinggi sementara modal dan pemahaman pas-pasan, tidak sesuai dengan kapasitas. Modal semangat saja tidaklah cukup untuk meraih mimpi. Alih-alih dapat merealisasikan impian, semangat yang terlalu besar menjadikan kita ambisius dan terobsesi kemudian stress. Hal ini sering disebut dengan upaya mengenali potensi: potensi otak, potensi jiwa dan potensi materi/biaya.
Ketiga, takdir! Apa yang saya impikan adalah apa yang saya ketahui baik untuk saya pada waktu itu, menurut batas pengetahuan saya, menurut paradigma saya. Namun semestinya saya menyadari, Allah jauh lebih tahu apa yang baik bagi saya dan apa yang tidak. Allah telah menetapkan sesuatu bagi hambaNya, sesuai ukuran dan kapasitas. Kita hanya diperintahkan untuk berusaha semaksimal mungkin. Usaha itu tidak sia-sia, karena ia akan dinilai sebagai amal, meskipun kita tidak memperoleh hasil dari usaha itu.
Dan ketika Allah telah menampakkan realitas hidup, tibalah masanya kita berdamai dengan hati, berdamai dengan kenyataan. Tawakkal, berserah diri. Agar tak seperti gadis trendi yang saya temui setiap hari, selalu terobsesi sehingga akhirnya terpaksa hidup dalam dunia mimpi.
Beberapa kali saya lihat dia duduk di atas mobil yang terparkir di pinggir jalan. Bergaya ala fotomodel, sambil mengisap rokok yang terselip diantara jari-jemarinya. Kadang dia sibuk memunguti batu-batu dan memasukkanya ke kantong plastik. Kadang dia berjalan dengan tentengan di kiri kanan, sedang bahunya menyandang tas trendi pula. Ingin saya menyapanya, tapi niatan itu tak pernah kesampaian. Dia selalu tampak sibuk dengan dunianya sendiri. Pernah saya bertanya pada tukang warung rokok di pinggir jalan tempat perempuan itu biasa mangkal. Dimana rumahnya? Apa yang terjadi dengannya? Tapi tak seorang pun tahu. Yang mereka tahu adalah, wanita itu gila. Hilang ingatan, meski tak sepenuhnya. Hingga saya jadi sering mengira-ngira, ada apakah dengannya?
Melihat tingkah lakuknya, saya menduga, mungkin dulu ia pernah bermimpi menjadi seorang bintang, fotomodel, peragawati atau apapun yang berbau selebritis. Terlihat dari pakaiannya yang selalu trendi dan gayanya yang bak fotomodel. Atau mungkin juga ia dulu bercita-cita menjadi seorang aktifis, terlihat dari sikapnya yang selalu sibuk dan sibuk. Atau juga,… entahlah!
***
Mimpi. Siapa sih manusia di dunia ini yang tak memiliki mimpi? Sesederhana apa pun -dan meskipun orang tak menyebutnya dengan mimpi- saya yakin setiap kita punya mimpi. Punya keinginan yang suatu saat ingin diwujudkan. Memiliki harapan dan cita-cita, yang kita berusaha semaksimal mungkin untuk menggapainya.
Dulu ketika kecil saya suka membayangkan menjadi anak orang kaya, memiliki rumah megah seperti rumah sahabat saya. Impian itu sering saya imajinasikan saat bermain rumah-rumahan dari tanah. Saya bangun rumahnya seperti impian saya, dan saya buat kehidupan penghuninya seperti cerita yang saya inginkan, yang saya impikan sebagaimana saya lihat di tipi.
Ketika saya menginjak remaja, saya bermimpi menjadi selebriti, meskipun sekadar menjadi selebriti tingkat kelas, atau anak gaul sekolah yang dikenal teman-teman. Saat memasuki bangku kuliah, saya iri dengan teman-teman yang aktif di senat maupun di Unit Kegiatan Mahasiswa Islam. Saya berusaha keras untuk bisa masuk dan aktif dalam jajaran mereka. Saat saya selesai kuliah, belasan impian, juga idealita, saya miliki dan menjadi obsesi.
Namun jika saya telusuri, nyaris semua kenyataan hidup yang saya jalani berbeda jauh dan bertolak belakang dengan impian dan idealita saya. Mengapa?
Ada tiga pelajaran besar yang saya peroleh. Satu, bisa jadi saya kurang kuat berusaha, kurang tekun menjalani, kurang sabar melewati tantangan. Mudah capek, mudah ngambek, mudah patah arang. Padahal, mungkin saja usaha saya belum ada apa-apanya dibanding mereka yang berhasil meraih impiannya. Bahasa ilmiahnya, kurang memiliki motivasi berprestasi.
Kedua, bisa jadi impian saya yang terlalu tinggi sementara modal dan pemahaman pas-pasan, tidak sesuai dengan kapasitas. Modal semangat saja tidaklah cukup untuk meraih mimpi. Alih-alih dapat merealisasikan impian, semangat yang terlalu besar menjadikan kita ambisius dan terobsesi kemudian stress. Hal ini sering disebut dengan upaya mengenali potensi: potensi otak, potensi jiwa dan potensi materi/biaya.
Ketiga, takdir! Apa yang saya impikan adalah apa yang saya ketahui baik untuk saya pada waktu itu, menurut batas pengetahuan saya, menurut paradigma saya. Namun semestinya saya menyadari, Allah jauh lebih tahu apa yang baik bagi saya dan apa yang tidak. Allah telah menetapkan sesuatu bagi hambaNya, sesuai ukuran dan kapasitas. Kita hanya diperintahkan untuk berusaha semaksimal mungkin. Usaha itu tidak sia-sia, karena ia akan dinilai sebagai amal, meskipun kita tidak memperoleh hasil dari usaha itu.
Dan ketika Allah telah menampakkan realitas hidup, tibalah masanya kita berdamai dengan hati, berdamai dengan kenyataan. Tawakkal, berserah diri. Agar tak seperti gadis trendi yang saya temui setiap hari, selalu terobsesi sehingga akhirnya terpaksa hidup dalam dunia mimpi.
0 Tanggapan untuk "M i m p i"
Post a Comment