Urbanisasi dan Penyakit Kota
Monday, February 21, 2011
Tambahkan komentar
Urbanisasi dan penyakit kota ini diangkat dari dialog antara Nabi Musa dengan ummatnya Bani Israil dalam pengembaraan mereka di gurun pasir selama 40 tahun. Tujuan pengembaraan tersebut adalah untuk mendapatkan generasi baru yang bermental ulet, tahan uji, tahan derita, berani, berjiwa meredeka, menggantikan generasi tua yang bermental budak dan manja. Jadi dialog ini adalah antara Nabi Musa AS dengan generasi tua, belum lama setelah mereka diselamatkan dari kejaran Firaun (Merne Ptah) bersama bala tentaranya.
Dalam pengembaraanya itu Allah SWT memberi anugerah khusus kepada mereka sebagaimana dalam QS.Baqarah ayat 57: Al Ghamamu (awan pelindung dari teriknya matahari), Al Manna (sebangsa lumut rasanya manis, jadi rupanya zat yang terdiri dari hidrat arang), dan As-Salwa (sejenis burung, jadi mengandung protein dan lemak).
Dialog dibuka oleh generasi tua, “Wahai Musa, kami sudah tidak tahan lagi dengan makanan itu-itu saja”, kemudian mereka meminta lagi agar Nabi Musa berdoa kepada Allah untuk minta makanan yang bermacam-macam, seperti yang telah pernah mereka rasakan dahulu. Nabi Musa menjawab, “Mengapa kamu inginkan pengganti yang tidak baik atas yang sudah baik?” Selanjutnya Nabi Musa AS berucap lagi: “Ihbithuw mishran, fainnalakum ma- saaltum!” (turunlah ke kota, di situ kamu akan dapatkan apa yang engkau kehendaki!). Maka selanjutnya Allah SWT menginformasikan kepada kita yakni dalam QS. Al Baqarah ayat 61: “Dan ditimpakan kepada mereka kehinaan dan kesengsaraan, dan kenalah murka Allah disebabkan mereka itu ingkar akan ayat-ayat Allah, dan membunuh nabi-nabi dengan sewenang-wenang, demikianlah mereka itu kepala batu dan melanggar batas”.
Ada dua hal yang dapat disimak dari ayat tersebut. Pertama, kecenderungan orang desa pergi “down town”, turun ke kota, ber-“urbanisasi”. Mereka itu mempunyai dorongan keinginan akan kehidupan yang lebih baik, makanan yang bermacam-macam, fasilitas yang lebih menyenangkan. Nabi Musa AS memperingatkan, “Mengapa kehidupan yang baik di gurun (baca: di desa) akan diganti dengan kehidupan yang tidak baik di kota?” Kita semua sudah tahu, betapa bahayanya makanan dengan zat pewarna, zat penyedap, zat pengawet, makanan kaleng, makanan kadaluarsa yang semua itu cenderung lebih mudah dan lebih banyak ditemukan di kota. Ini dari segi makanan, belum lagi udara sehat yang bersih di desa akan ditukar dengan udara yang sudah penuh dengan zat pencemar di kota.
Kedua, secara sosiologis. Di desa, masyarakat itu merupakan suatu keluarga besar. Kehidupannya intim, namun kontrol sosial ketat dan sistem perlindungan serta jaminan sosial cukup berkwalitas, sehingga mudah terhindar dari kemaksiatan. Berbeda dengan di kota yang kontrol sosialnya boleh dikatakan sudah sangat lemah, kehidupan menjadi nafsi-nafsi (individual), sehingga mudahlah terjerumus ke dalam kemaksiatan. Kehidupan intim lenyap, bertetangga sudah kurang saling mengenal, dipagari tembok tinggi, masing-masing sibuk sendiri. Orang menjadi kesepian di tengah-tengah orang ramai. Kesepian dicoba dihilangkan dengan kehidupan malam, tetapi penyakit kesepian itu tak kunjung-kunjung hilang.
Dan itulah penyakit di kota: adzdzillatu walmaskanatu (kehinaan dan kesengsaraan), yakfuruwna bi ayatillaah (ingkar akan ayat-ayat Allah), yaqtuluwna nnabiyyiin (membunuh nabi-nabi). Karena sekarang tidak ada nabi lagi, maka ayat itu berarti membunuh ajaran yang dibawa oleh para nabi, jadi sudah lebih hebat dari hanya sekadar ingkar, 'ashaw (kepala batu) dan ya'taduwn (melampaui batas).
Maka kesimpulannya kita yang hidup dikota sekarang ini haruslah menyadari bahaya kedua penyakit itu, penyakit yang diakibatkan makanan dan penyakit sosiologis itu, yang sudah ada sejak dahulu kala sekurang-kurangnya sejak zamannya Nabi Musa AS. Anda hidup di kota? Waspadalah!! Waspadalah!! (Heheh...) Salaam...
Dalam pengembaraanya itu Allah SWT memberi anugerah khusus kepada mereka sebagaimana dalam QS.Baqarah ayat 57: Al Ghamamu (awan pelindung dari teriknya matahari), Al Manna (sebangsa lumut rasanya manis, jadi rupanya zat yang terdiri dari hidrat arang), dan As-Salwa (sejenis burung, jadi mengandung protein dan lemak).
Dialog dibuka oleh generasi tua, “Wahai Musa, kami sudah tidak tahan lagi dengan makanan itu-itu saja”, kemudian mereka meminta lagi agar Nabi Musa berdoa kepada Allah untuk minta makanan yang bermacam-macam, seperti yang telah pernah mereka rasakan dahulu. Nabi Musa menjawab, “Mengapa kamu inginkan pengganti yang tidak baik atas yang sudah baik?” Selanjutnya Nabi Musa AS berucap lagi: “Ihbithuw mishran, fainnalakum ma- saaltum!” (turunlah ke kota, di situ kamu akan dapatkan apa yang engkau kehendaki!). Maka selanjutnya Allah SWT menginformasikan kepada kita yakni dalam QS. Al Baqarah ayat 61: “Dan ditimpakan kepada mereka kehinaan dan kesengsaraan, dan kenalah murka Allah disebabkan mereka itu ingkar akan ayat-ayat Allah, dan membunuh nabi-nabi dengan sewenang-wenang, demikianlah mereka itu kepala batu dan melanggar batas”.
Ada dua hal yang dapat disimak dari ayat tersebut. Pertama, kecenderungan orang desa pergi “down town”, turun ke kota, ber-“urbanisasi”. Mereka itu mempunyai dorongan keinginan akan kehidupan yang lebih baik, makanan yang bermacam-macam, fasilitas yang lebih menyenangkan. Nabi Musa AS memperingatkan, “Mengapa kehidupan yang baik di gurun (baca: di desa) akan diganti dengan kehidupan yang tidak baik di kota?” Kita semua sudah tahu, betapa bahayanya makanan dengan zat pewarna, zat penyedap, zat pengawet, makanan kaleng, makanan kadaluarsa yang semua itu cenderung lebih mudah dan lebih banyak ditemukan di kota. Ini dari segi makanan, belum lagi udara sehat yang bersih di desa akan ditukar dengan udara yang sudah penuh dengan zat pencemar di kota.
Kedua, secara sosiologis. Di desa, masyarakat itu merupakan suatu keluarga besar. Kehidupannya intim, namun kontrol sosial ketat dan sistem perlindungan serta jaminan sosial cukup berkwalitas, sehingga mudah terhindar dari kemaksiatan. Berbeda dengan di kota yang kontrol sosialnya boleh dikatakan sudah sangat lemah, kehidupan menjadi nafsi-nafsi (individual), sehingga mudahlah terjerumus ke dalam kemaksiatan. Kehidupan intim lenyap, bertetangga sudah kurang saling mengenal, dipagari tembok tinggi, masing-masing sibuk sendiri. Orang menjadi kesepian di tengah-tengah orang ramai. Kesepian dicoba dihilangkan dengan kehidupan malam, tetapi penyakit kesepian itu tak kunjung-kunjung hilang.
Dan itulah penyakit di kota: adzdzillatu walmaskanatu (kehinaan dan kesengsaraan), yakfuruwna bi ayatillaah (ingkar akan ayat-ayat Allah), yaqtuluwna nnabiyyiin (membunuh nabi-nabi). Karena sekarang tidak ada nabi lagi, maka ayat itu berarti membunuh ajaran yang dibawa oleh para nabi, jadi sudah lebih hebat dari hanya sekadar ingkar, 'ashaw (kepala batu) dan ya'taduwn (melampaui batas).
Maka kesimpulannya kita yang hidup dikota sekarang ini haruslah menyadari bahaya kedua penyakit itu, penyakit yang diakibatkan makanan dan penyakit sosiologis itu, yang sudah ada sejak dahulu kala sekurang-kurangnya sejak zamannya Nabi Musa AS. Anda hidup di kota? Waspadalah!! Waspadalah!! (Heheh...) Salaam...
0 Tanggapan untuk "Urbanisasi dan Penyakit Kota"
Post a Comment