Jangan Bersedih Karena Bencana-Bencana Itu
Tuesday, March 1, 2011
Tambahkan komentar
Seorang sejarawan dan sastrawan Mesir, Ahmad bin Yusuf, menyebutkan dalam sebuah bukunya yang sangat mengagumkan Al-Mukafa'ah wa Husnul 'Uqba, "Manusia telah mengetahui bahwa pemecahan masalah - yakni lenyapnya kesedihan dan kepedihan - dengan sesuatu yang sebaliknya adalah sesuatu yang pasti adanya. Ia tahu bahwa lenyapnya malam menandakan munculnya siang. Namun kelemahan tabiat manusia selalu saja mengiringi jiwa pada saat terjadinya bencana. Jika tidak diobati maka akan bertambahlah penyakitnya, dan akan semakin besar cobaannya. Masalahnya adalah bahwa jiwa harus diberi kekuatan baru pada saat berada dalam kesulitan. Karena bila tidak disuntik dengan kekuatan baru, jiwa akan dipenuhi keputusasaan, yang selanjutnya akan menghancurkan dirinya sendiri."
Merenungkan bab ini --bab tentang orang yang mendapat cobaan lalu bersabar, dan buah dari sabar itu adalah akibat yang baik-- adalah hal yang dapat menguatkan jiwa dan mendorongnya untuk terus bersabar dan terus menjaga sikap kepada Rabb berupa berbaik sangka akan terpenuhinya kebaikan setelah ujian berlalu.
Di akhir buku itu ia mengatakan, "Bazerjamhar mengatakan, 'Kesulitan yang datang sebelum kemudahan itu laksana lapar yang datang sebelum adanya makanan. Sehingga letak kesulitan itu akan tepat beriiringan dengan datangnya kemudahan setelah itu, dan makanan akan terasa lezat dimakan ketika bersama rasa lapar.'"
Plato mengatakan, "Kesulitan itu akan memperbaiki jiwa sebesar kehidupan yang dirusaknya. Sedangkan kesenangan akan merusak jiwa sebesar kehidupan yang diperbaikinya."
Dia juga mengatakan, "Jagalah teman yang dihantarkan oleh kesulitan, dan tinggalkan teman yang dihantarkan oleh kenikmatan."
Katanya lagi, "Kesenangan itu laksana malam, karena Anda tidak pernah berpikir panjang tentang apa yang Anda berikan atau apa yang Anda dapatkan. Dan kesulitan itu laksana siang, karena Anda melihat dengan jelas apa yang Anda usahakan oleh orang lain."
Azdasyir mengatakan, "Kesulitan itu adalah celak yang dengannya Anda dapat melihat sesuatu yang tidak bisa Anda lihat dengan kenikmatan."
Katanya lagi, "Sendi kemashlahatan dalam kesulitan itu ada dua: Yang paling kecil adalah kekuatan hati orang yang terkena kesulitan itu atas apa yang menimpanya. Yang terbesar adalah menyerahkan sepenuhnya kepada Dzat Yang Memilikinya dan Dzat Yang Memberi Rezeki."
Jika pikiran seseorang itu telah mantap terhadap Penciptanya, maka dia akan tahu bahwa Allah tidak mengujinya kecuali bahwa ujian itu akan mendatangkan kebaikan baginya, atau menghilangkan dosa besar darinya. Dengan demikian ia akan selalu mendapatkan keuntungan yang terus berkelanjutan dan faedah yang tak pernah berhenti.
Namun sebaliknya, jika pikirannya tercurah untuk sesama makhluk maka akan banyak sisi negatifnya, dan akan banyak kepura-puraannya.Dia akan bosan dengan posisinya yang selalu gagal mencapai yang diangankannya. Dia merasa terlalu lama dengan ujian yang menimpanya, yang diharapkan akan segera berakhir. Dan, dia takut dengan hal-hal yang tidak menyenangkan padahal bisa saja semua itu tidak pernah terjadi padanya.
Munajat itu dikatakan benar bila dilakukan antara seorang hamba dengan Rabbnya karena dia sadar bahwa ada sesuatu yang sangat rahasia dan dia percaya terhadap apa yang dikatakan oleh kata hatinya. Sedangkan munajat yang dilakukan antara seseorang dengan sesamanya lebih sering menyakitkan, dan tidak menyentuh kemashlahatan.
Allah memiliki rahmat yang diberikan kepada orang yang telah merasa putus asa kepada-Nya. Rahmat itu akan diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Kepada-Nya ada harapan untuk mendekatkan jalan keluar, dan memudahkan urusan. Cukuplah Allah bagiku dan Dia adalah sebaik-baik pelindung.
Saya telah membaca buku At-Tanukhi yang berjudul Al-Farj Ba'dasy Syiddah, dan saya berusaha membacanya berkali-kali. Dan, akhirnya saya menyimpulkan tiga hal:
Pertama: Adanya jalan keluar setelah kesulitan adalah sunnah yang telah berlangsung lama dan merupakan kepastian yang telah diterima secara umum. Contohnya, datangnya subuh adalah pasti setelah malam usai.
Kedua: Hal-hal yang tidak disukai justru akan banyak memberikan manfaat dan faedah yang lebih bagus dan lebih baik terhadap hamba dalam kehidupan beragama dan keduniaannya, daripada hal-hal yang disukai.
Ketiga: Yang memberikan manfaat dan menolak madharat sebenarnya adalah Allah Yang Maha Tinggi. Dan, ketahuilah bahwa apa yang akan menimpa diri Anda tidak akan menimpa orang lain dan apa yang tidak akan menimpa diri Anda tidak akan pernah menimpa.
Dinukil dari:
Dari buku Laa Tahzan (Jangan Bersedih!), penerbit Qisthi Press.
Merenungkan bab ini --bab tentang orang yang mendapat cobaan lalu bersabar, dan buah dari sabar itu adalah akibat yang baik-- adalah hal yang dapat menguatkan jiwa dan mendorongnya untuk terus bersabar dan terus menjaga sikap kepada Rabb berupa berbaik sangka akan terpenuhinya kebaikan setelah ujian berlalu.
Di akhir buku itu ia mengatakan, "Bazerjamhar mengatakan, 'Kesulitan yang datang sebelum kemudahan itu laksana lapar yang datang sebelum adanya makanan. Sehingga letak kesulitan itu akan tepat beriiringan dengan datangnya kemudahan setelah itu, dan makanan akan terasa lezat dimakan ketika bersama rasa lapar.'"
Plato mengatakan, "Kesulitan itu akan memperbaiki jiwa sebesar kehidupan yang dirusaknya. Sedangkan kesenangan akan merusak jiwa sebesar kehidupan yang diperbaikinya."
Dia juga mengatakan, "Jagalah teman yang dihantarkan oleh kesulitan, dan tinggalkan teman yang dihantarkan oleh kenikmatan."
Katanya lagi, "Kesenangan itu laksana malam, karena Anda tidak pernah berpikir panjang tentang apa yang Anda berikan atau apa yang Anda dapatkan. Dan kesulitan itu laksana siang, karena Anda melihat dengan jelas apa yang Anda usahakan oleh orang lain."
Azdasyir mengatakan, "Kesulitan itu adalah celak yang dengannya Anda dapat melihat sesuatu yang tidak bisa Anda lihat dengan kenikmatan."
Katanya lagi, "Sendi kemashlahatan dalam kesulitan itu ada dua: Yang paling kecil adalah kekuatan hati orang yang terkena kesulitan itu atas apa yang menimpanya. Yang terbesar adalah menyerahkan sepenuhnya kepada Dzat Yang Memilikinya dan Dzat Yang Memberi Rezeki."
Jika pikiran seseorang itu telah mantap terhadap Penciptanya, maka dia akan tahu bahwa Allah tidak mengujinya kecuali bahwa ujian itu akan mendatangkan kebaikan baginya, atau menghilangkan dosa besar darinya. Dengan demikian ia akan selalu mendapatkan keuntungan yang terus berkelanjutan dan faedah yang tak pernah berhenti.
Namun sebaliknya, jika pikirannya tercurah untuk sesama makhluk maka akan banyak sisi negatifnya, dan akan banyak kepura-puraannya.Dia akan bosan dengan posisinya yang selalu gagal mencapai yang diangankannya. Dia merasa terlalu lama dengan ujian yang menimpanya, yang diharapkan akan segera berakhir. Dan, dia takut dengan hal-hal yang tidak menyenangkan padahal bisa saja semua itu tidak pernah terjadi padanya.
Munajat itu dikatakan benar bila dilakukan antara seorang hamba dengan Rabbnya karena dia sadar bahwa ada sesuatu yang sangat rahasia dan dia percaya terhadap apa yang dikatakan oleh kata hatinya. Sedangkan munajat yang dilakukan antara seseorang dengan sesamanya lebih sering menyakitkan, dan tidak menyentuh kemashlahatan.
Allah memiliki rahmat yang diberikan kepada orang yang telah merasa putus asa kepada-Nya. Rahmat itu akan diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Kepada-Nya ada harapan untuk mendekatkan jalan keluar, dan memudahkan urusan. Cukuplah Allah bagiku dan Dia adalah sebaik-baik pelindung.
Saya telah membaca buku At-Tanukhi yang berjudul Al-Farj Ba'dasy Syiddah, dan saya berusaha membacanya berkali-kali. Dan, akhirnya saya menyimpulkan tiga hal:
Pertama: Adanya jalan keluar setelah kesulitan adalah sunnah yang telah berlangsung lama dan merupakan kepastian yang telah diterima secara umum. Contohnya, datangnya subuh adalah pasti setelah malam usai.
Kedua: Hal-hal yang tidak disukai justru akan banyak memberikan manfaat dan faedah yang lebih bagus dan lebih baik terhadap hamba dalam kehidupan beragama dan keduniaannya, daripada hal-hal yang disukai.
Ketiga: Yang memberikan manfaat dan menolak madharat sebenarnya adalah Allah Yang Maha Tinggi. Dan, ketahuilah bahwa apa yang akan menimpa diri Anda tidak akan menimpa orang lain dan apa yang tidak akan menimpa diri Anda tidak akan pernah menimpa.
Dinukil dari:
Dari buku Laa Tahzan (Jangan Bersedih!), penerbit Qisthi Press.
0 Tanggapan untuk "Jangan Bersedih Karena Bencana-Bencana Itu"
Post a Comment