Punya Jangan Kikir, Miskin Jangan Meminta
Tuesday, March 1, 2011
Tambahkan komentar
Suatu kali Rasulullah bertanya kepada para sahabat, “Siapa yang lebih mencintai harta ahli warisnya ketimbang hartanya sendiri?” Sebuah pertanyaan khas yang sering digunakan Rasul untuk menuju kepada jawaban yang sudah pasti, yakni tak seorangpun kecuali orang tidak normal. Begitulah jawaban para sahabat. Kemudian, menurut riwayat Bukhari, Nabi meneruskan, “Hartanya sendiri adalah harta yang sudah diamalkan (untuk kebaikan) sedangkan harta ahli warisnya adalah selain itu.”
Dalam banyak kesempatan Rasulullah mengajak kepada segenap ummat Islam untuk menjauhi sikap kikir. Tolok ukur yang paling gampang terhadap kekikiran seseorang adalah kecuekannya terhadap orang lain yang memerlukan bantuan. Bantuan bisa berupa apa saja, yang kesemuanya ditujukan untuk mengurangi kesulitan. Bagi yang kehujanan, dibutuhkan naungan; bagi yang kepayahan, diperlukan waktu istirahat; bagi yang tak punya biaya perjalanan, bisa diberikan tumpangan. Itu bila konteksnya pribadi. Tetapi juga ada keperluan yang bersifat umum, yang membutuhkan uluran tangan bersama seperti untuk membangun masjid, sekolah, mengurus kaum papa, dan sejenisnya.
Bagi siapa saja yang ingin harta pribadinya banyak, hendaklah tidak menunda-nunda memberikan bantuan pertolongan sebisanya. Sebaik-baik pertolongan, adalah yang dilakukan secara diam-diam. Artinya, bantuan yang memang tulus, dan tidak dimuati niatan lain, terlebih popularitas. Sebab niatan lain yang disebut riya' itu akan menghanguskan semua nilai (pahala) sadaqah. Tetapi ada pula bantuan yang sengaja diberitahukan kepada khalayak, dengan maksud agar menjadi contoh dan orang lain ikut serta membantu. Ini bila kebutuhan akan bantuan itu cukup besar. Allah berfirman: “Jika kamu perlihatkan sadaqahnya, itu baik. Tetapi bila kamu rahasiakan, dan kamu berikan kepada fakir miskin, maka lebih baik, dan Allah akan menghapus dosamu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Baqarah: 271)
Perihal bantu-membantu, Islam tidak membatasi jenisnya. Dalam hal apa saja, kepada siapa saja. Tetapi ada larangan yang tegas, untuk tidak bantu-membantu dalam keburukan dan dosa, dan tidak saling membantu dengan orang kafir untuk merugikan kaum muslimin. Istilah al-Qur'an, walaa ta'aawanuu `alal-itsmi wal-'udwaan (al-Maaidah: 2). Sebuah contoh yang bisa dianalogikan kepada banyak hal lain adalah ketentuan Islam yang menjatuhkan dosa khamr (minuman keras) kepada pembuatnya, pemeras (anggur)nya, penjualnya, pembantunya, maupun peminumnya. Semua kebagian dosanya.
Membantu orang kafir untuk merugikan kaum mukminin juga memiliki arti yang sangat luas. Sebab pada saat ini upaya kaum kaafirun melawan Islam itu sudah berupa konspirasi global. Mereka bahu-membahu sekuat tenaga, dan secara langsung maupun tak langsung telah melibatkan ummat Islam sendiri. Bukankah, bila kaum muslimin membeli produk mereka yang nyata-nyata ditujukan untuk merusak moral berarti juga ikut memberi andil menyukseskan langkah mereka? Sebab kejatuhan moral masyarakat akan semakin memojokkan kebenaran syari'at, dan mempercepat datangnya adzab dari Allah.
Mengamalkan harta untuk kebaikan bisa terpilah pada beberapa katagori. Ada yang termasuk darurat, ada yang urgen alias mendesak, dan ada yang biasa-biasa saja. Ketiganya tetap perlu dilakukan, sebab mengutamakan hanya yang darurat membuat seseorang tidak bisa menginfaqkan hartanya secara kontinyu. Apalagi, datangnya bencana atau musibah yang menjadikan sekelompok masyarakat sangat butuh bantuan tidak bisa diperkirakan kapan akan datang.
Ada beberapa penyakit yang menghalangi keikhlasan dalam bersadaqah. Penyakit itu bisa dari dalam diri seseorang, juga bisa dari luar. Yang dari dalam adalah penyakit hati semacam kikir dan hasud. Kikir mengarahkan seseorang kepada kekhawatiran akan rugi, jatuh miskin, bila mengeluarkan hartanya secara cuma-cuma. Padahal, bisa jadi yang hendak diberikannya itu ibarat setitik air di ujung jari yang tercelup ke bak mandi, dibanding kekayaannya. Masih banyak kejadian, kaca mobil mewah di perempatan jalan digedor pengemis lantaran pengendaranya enggan menyumbang, meski hanya seratus rupiah.
Sedangkan hasud membuat seseorang cenderung curiga terhadap yang meminta. Katanya, kok enak saja minta, kerja dong! Padahal bisa jadi si peminta benar-benar sudah berusaha cari kerja namun selalu gagal. Kecurigaan lain, mengira peminta itu malas. Karena malas, sebaiknya tidak diberi apa-apa, agar tidak semakin menjadi pemalas saja. Dengan memberi uang receh, berarti tidak mendidik mereka, apalagi bila pengemisnya masih anak-anak. Kecurigaan-kecurigaan seperti ini sebaiknya ditelusuri lagi secara lebih mendalam di dalam hati masing-masing. Apakah benar-benar karena idealisme untuk mendidik, atau justru karena keengganan kita mengeluarkan sesuatu? Toh, semua orang memiliki tanggung jawabnya masing-masing terhadap apa yang dimilikinya. Tidak memberi bisa berarti mendidik, memberipun bisa berarti mendidik bila penerimanya menggunakan dengan benar.
Ada faktor luar juga yang mengganggu keikhlasan mereka yang berinfaq. Yakni ketidakjujuran para amil alias pengurus dana masyarakat. Sering sekali terdengar, uang sumbangan dari masyarakat tidak sampai kepada yang berhak, tetapi nyantol di `agen'. Atau sampai, tapi hanya sebagian. Kadang, sampainya tidak merata, lebih banyak kepada sebuah pihak saja hingga membuat pihak lain marah. Atau terlalu lambat disalurkan sehingga keburu rusak. Kondisi ini menjadikan dilema bagi mereka yang hendak berinfaq. Bagi yang memang sudah menyimpan penyakit di hatinya, akan menjadi tambahan alasan untuk tidak jadi berinfaq saja. Padahal bila banyak orang menjadi kikir, maka ancaman Nabi akan menjadi kenyataan, yakni banyak orang bakal masuk neraka. Sabda Nabi, “Hindarilah neraka, sekalipun dengan sadaqah sebiji kurma.” (HR Bukhari)
Perintah dan anjuran untuk tidak kikir, banyak bersadaqah, suka memberi, itu sama sekali bukan isyarat bagi kaum muslimin yang merasa lemah untuk menggantungkan rezekinya kepada orang lain. Pada kesempatan yang lain, Rasul juga mengancamkan hal yang sama berat kepada ummatnya yang suka meminta-minta. Perbuatan hina itu, bila dilakukan tidak karena terpaksa, juga akan menjerumuskan seseorang ke neraka.
Imam Muslim meriwayatkaan, ketika Abi Bisyi Qubaishah bin al-Mukhariq meminta bantuan kepada Rasulullah karena ia punya tanggungan harta untuk menyelesaikan perselihan antar kaum (hamalah), Nabi menyuruhnya untuk menunggu ada kiriman zakat atau sadaqah sembari berkata, “Hai Qubaishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak dihalalkan kecuali atas tiga orang: Pertama, seseorang yang menanggung hamalah, maka dibolehkan minta-minta sampai tercukupi, lalu berhenti. Kedua, seseorang tertimpa bala bencana sampai habis semua hartanya, maka ia boleh meminta-minta untuk menutup kebutuhannya. Ketiga, seseorang yang benar-benar miskin, dapat disaksikan oleh tiga orang terkemuka dari kaumnya bahwa ia benar-benar miskin, maka boleh meminta-minta sampai tertutup kebutuhannya dan ia dapat hidup secara sederhana. Selain dari itu, maka yang dimakan peminta-peminta adalah haram.” (dari Riyadhush-Shalihin)
Pada riwayat lain Nabi pernah bersabda, “Seseorang peminta-minta itu nanti menghadap Allah dalam keadaan tiada sepotong daging di mukanya.” (HR Bukhari & Muslim)
Begitulah cara Islam memberikan pelajaran, tidak pernah pincang. Di satu sisi melarang ummatnya kikir, mengancamnya, dan mengingatkan bahwa harta itu tidak ada artinya di hadapan Allah, pada sisi yang lain melarang pula seseorang mengemis kecuali terpaksa, dan mengancamnya secara mengerikan.
Pengecualian yang berupa bencana, akhir-akhir ini sering terjadi. Rasul telah memberikan hak kepada mereka yang hartanya habis oleh musibah, untuk meminta bantuan. Dan hendaklah orang lain yang telah menyaksikan musibah itu tidak menunda-nunda untuk sesegera mungkin mengulurkan tangan.
Musibah itu tidak memilih-milih, apakah muslim atau kafir, kaya atau miskin, beranak 10 atau bujangan. Itu adalah kehendak Allah, yang alasannya semata Dia yang tahu, apakah merupakan ujian atau adzab, atau keduanya sekaligus. Mereka yang kehilangan segalanya, berhak untuk memperoleh, sekadar kecukupan untuk modal hidup.
Dalam banyak kesempatan Rasulullah mengajak kepada segenap ummat Islam untuk menjauhi sikap kikir. Tolok ukur yang paling gampang terhadap kekikiran seseorang adalah kecuekannya terhadap orang lain yang memerlukan bantuan. Bantuan bisa berupa apa saja, yang kesemuanya ditujukan untuk mengurangi kesulitan. Bagi yang kehujanan, dibutuhkan naungan; bagi yang kepayahan, diperlukan waktu istirahat; bagi yang tak punya biaya perjalanan, bisa diberikan tumpangan. Itu bila konteksnya pribadi. Tetapi juga ada keperluan yang bersifat umum, yang membutuhkan uluran tangan bersama seperti untuk membangun masjid, sekolah, mengurus kaum papa, dan sejenisnya.
Bagi siapa saja yang ingin harta pribadinya banyak, hendaklah tidak menunda-nunda memberikan bantuan pertolongan sebisanya. Sebaik-baik pertolongan, adalah yang dilakukan secara diam-diam. Artinya, bantuan yang memang tulus, dan tidak dimuati niatan lain, terlebih popularitas. Sebab niatan lain yang disebut riya' itu akan menghanguskan semua nilai (pahala) sadaqah. Tetapi ada pula bantuan yang sengaja diberitahukan kepada khalayak, dengan maksud agar menjadi contoh dan orang lain ikut serta membantu. Ini bila kebutuhan akan bantuan itu cukup besar. Allah berfirman: “Jika kamu perlihatkan sadaqahnya, itu baik. Tetapi bila kamu rahasiakan, dan kamu berikan kepada fakir miskin, maka lebih baik, dan Allah akan menghapus dosamu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Baqarah: 271)
Perihal bantu-membantu, Islam tidak membatasi jenisnya. Dalam hal apa saja, kepada siapa saja. Tetapi ada larangan yang tegas, untuk tidak bantu-membantu dalam keburukan dan dosa, dan tidak saling membantu dengan orang kafir untuk merugikan kaum muslimin. Istilah al-Qur'an, walaa ta'aawanuu `alal-itsmi wal-'udwaan (al-Maaidah: 2). Sebuah contoh yang bisa dianalogikan kepada banyak hal lain adalah ketentuan Islam yang menjatuhkan dosa khamr (minuman keras) kepada pembuatnya, pemeras (anggur)nya, penjualnya, pembantunya, maupun peminumnya. Semua kebagian dosanya.
Membantu orang kafir untuk merugikan kaum mukminin juga memiliki arti yang sangat luas. Sebab pada saat ini upaya kaum kaafirun melawan Islam itu sudah berupa konspirasi global. Mereka bahu-membahu sekuat tenaga, dan secara langsung maupun tak langsung telah melibatkan ummat Islam sendiri. Bukankah, bila kaum muslimin membeli produk mereka yang nyata-nyata ditujukan untuk merusak moral berarti juga ikut memberi andil menyukseskan langkah mereka? Sebab kejatuhan moral masyarakat akan semakin memojokkan kebenaran syari'at, dan mempercepat datangnya adzab dari Allah.
Mengamalkan harta untuk kebaikan bisa terpilah pada beberapa katagori. Ada yang termasuk darurat, ada yang urgen alias mendesak, dan ada yang biasa-biasa saja. Ketiganya tetap perlu dilakukan, sebab mengutamakan hanya yang darurat membuat seseorang tidak bisa menginfaqkan hartanya secara kontinyu. Apalagi, datangnya bencana atau musibah yang menjadikan sekelompok masyarakat sangat butuh bantuan tidak bisa diperkirakan kapan akan datang.
Ada beberapa penyakit yang menghalangi keikhlasan dalam bersadaqah. Penyakit itu bisa dari dalam diri seseorang, juga bisa dari luar. Yang dari dalam adalah penyakit hati semacam kikir dan hasud. Kikir mengarahkan seseorang kepada kekhawatiran akan rugi, jatuh miskin, bila mengeluarkan hartanya secara cuma-cuma. Padahal, bisa jadi yang hendak diberikannya itu ibarat setitik air di ujung jari yang tercelup ke bak mandi, dibanding kekayaannya. Masih banyak kejadian, kaca mobil mewah di perempatan jalan digedor pengemis lantaran pengendaranya enggan menyumbang, meski hanya seratus rupiah.
Sedangkan hasud membuat seseorang cenderung curiga terhadap yang meminta. Katanya, kok enak saja minta, kerja dong! Padahal bisa jadi si peminta benar-benar sudah berusaha cari kerja namun selalu gagal. Kecurigaan lain, mengira peminta itu malas. Karena malas, sebaiknya tidak diberi apa-apa, agar tidak semakin menjadi pemalas saja. Dengan memberi uang receh, berarti tidak mendidik mereka, apalagi bila pengemisnya masih anak-anak. Kecurigaan-kecurigaan seperti ini sebaiknya ditelusuri lagi secara lebih mendalam di dalam hati masing-masing. Apakah benar-benar karena idealisme untuk mendidik, atau justru karena keengganan kita mengeluarkan sesuatu? Toh, semua orang memiliki tanggung jawabnya masing-masing terhadap apa yang dimilikinya. Tidak memberi bisa berarti mendidik, memberipun bisa berarti mendidik bila penerimanya menggunakan dengan benar.
Ada faktor luar juga yang mengganggu keikhlasan mereka yang berinfaq. Yakni ketidakjujuran para amil alias pengurus dana masyarakat. Sering sekali terdengar, uang sumbangan dari masyarakat tidak sampai kepada yang berhak, tetapi nyantol di `agen'. Atau sampai, tapi hanya sebagian. Kadang, sampainya tidak merata, lebih banyak kepada sebuah pihak saja hingga membuat pihak lain marah. Atau terlalu lambat disalurkan sehingga keburu rusak. Kondisi ini menjadikan dilema bagi mereka yang hendak berinfaq. Bagi yang memang sudah menyimpan penyakit di hatinya, akan menjadi tambahan alasan untuk tidak jadi berinfaq saja. Padahal bila banyak orang menjadi kikir, maka ancaman Nabi akan menjadi kenyataan, yakni banyak orang bakal masuk neraka. Sabda Nabi, “Hindarilah neraka, sekalipun dengan sadaqah sebiji kurma.” (HR Bukhari)
Perintah dan anjuran untuk tidak kikir, banyak bersadaqah, suka memberi, itu sama sekali bukan isyarat bagi kaum muslimin yang merasa lemah untuk menggantungkan rezekinya kepada orang lain. Pada kesempatan yang lain, Rasul juga mengancamkan hal yang sama berat kepada ummatnya yang suka meminta-minta. Perbuatan hina itu, bila dilakukan tidak karena terpaksa, juga akan menjerumuskan seseorang ke neraka.
Imam Muslim meriwayatkaan, ketika Abi Bisyi Qubaishah bin al-Mukhariq meminta bantuan kepada Rasulullah karena ia punya tanggungan harta untuk menyelesaikan perselihan antar kaum (hamalah), Nabi menyuruhnya untuk menunggu ada kiriman zakat atau sadaqah sembari berkata, “Hai Qubaishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak dihalalkan kecuali atas tiga orang: Pertama, seseorang yang menanggung hamalah, maka dibolehkan minta-minta sampai tercukupi, lalu berhenti. Kedua, seseorang tertimpa bala bencana sampai habis semua hartanya, maka ia boleh meminta-minta untuk menutup kebutuhannya. Ketiga, seseorang yang benar-benar miskin, dapat disaksikan oleh tiga orang terkemuka dari kaumnya bahwa ia benar-benar miskin, maka boleh meminta-minta sampai tertutup kebutuhannya dan ia dapat hidup secara sederhana. Selain dari itu, maka yang dimakan peminta-peminta adalah haram.” (dari Riyadhush-Shalihin)
Pada riwayat lain Nabi pernah bersabda, “Seseorang peminta-minta itu nanti menghadap Allah dalam keadaan tiada sepotong daging di mukanya.” (HR Bukhari & Muslim)
Begitulah cara Islam memberikan pelajaran, tidak pernah pincang. Di satu sisi melarang ummatnya kikir, mengancamnya, dan mengingatkan bahwa harta itu tidak ada artinya di hadapan Allah, pada sisi yang lain melarang pula seseorang mengemis kecuali terpaksa, dan mengancamnya secara mengerikan.
Pengecualian yang berupa bencana, akhir-akhir ini sering terjadi. Rasul telah memberikan hak kepada mereka yang hartanya habis oleh musibah, untuk meminta bantuan. Dan hendaklah orang lain yang telah menyaksikan musibah itu tidak menunda-nunda untuk sesegera mungkin mengulurkan tangan.
Musibah itu tidak memilih-milih, apakah muslim atau kafir, kaya atau miskin, beranak 10 atau bujangan. Itu adalah kehendak Allah, yang alasannya semata Dia yang tahu, apakah merupakan ujian atau adzab, atau keduanya sekaligus. Mereka yang kehilangan segalanya, berhak untuk memperoleh, sekadar kecukupan untuk modal hidup.
0 Tanggapan untuk "Punya Jangan Kikir, Miskin Jangan Meminta"
Post a Comment