Sejarah Mazhab dan Hukum Bermazhab
Tuesday, March 1, 2011
Tambahkan komentar
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia banyak para sahabat yang berpindah dari satu negeri ke negeri lain, terutama pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Di setiap negeri yang mereka diami, mereka mengajarkan apa yang mereka peroleh dari Rasulullah kepada penduduk di mana mereka tinggal.Di antara kota-kota tempat tinggal para sahabat tersebut akhirnya ada yang berkembang menjadi pusat perkembangan ilmu-ilmu keislaman yang di antaranya adalah ilmu fiqh Islam.
Kota-kota tersebut antara lain:
Madinah
Di kota ini berdiam seluruh khulafaurrasyidin dan sejumlah besar ulama sahabat. Di antaranya adalah Abdullah bin Abbas (wafat 68 H), Abdullah bin Umar (wafat 73 H) sebelum keduanya pindah ke Makkah, Zaid Bin Tsabit (wafat 45H), dll. Dari merekalah para ulama tabiin (generasi sesudah sahabat) -seperti Said bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman, Sulaiman bin Yasar dll- yang tinggal di madinah menimba ilmu.
Imam Malik adalah seorang ulama Madinah yang hidup setelah generasi tabiin tersebut. Beliau adalah seorang mujtahid dan ulama besar yang diikuti oleh banyak orang, yang kepada beliaulah mazhab Maliki di nisbahkan. Mazhab Maliki ini juga dikenal dengan mazhab ahlul hadis. Sebab mereka lebih banyak mendasarkan ijtihad mereka pada hadis-hadis Nabi yang banyak mereka terima dari para tabiin yang meriwayatkannya dari Rasulullah.
Makkah
Di antara sahabat besar yang tinggal di Makkah adalah Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar. Murid-murid beliau dari kalangan tabiin di antaranya adalah Atha' bin Rabah (wafat 114 H), Thawus bin Kaisan (wafat 124 H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H), Muslim bin Khalid al Jauzi dll. Muslim bin Khalid ini adalah guru Imam Syafii sebelum beliau pergi berguru kepada Imam Malik di Madinah. Sedangkan Sufyan bin Uyainah adalah salah satu guru Imam Ahmad bin Hambal.
Kufah
Di antara sahabat yang terkenal di kota ini adalah Abdullah bin Mash'ud (wafat 32 H) dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H). Di antara para murid mereka adalah: Alqomah bin Qais Annakha'i (wafat 60 H) dan Qadli Syuraih (wafat 78 H).
Kepada merekalah para fuqaha Kufah seperti Ibrahim Annakha'i, Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Syubrumah dan Imam Abu Hanifah belajar ilmu fiqh. Namun hanya Abu Hanifahlah yang kemudian mempunyai pengikut hingga sekarang. Mazhab beliau dikenal dengan mazhab Hanafi atau mazhab ahlu arra'yi. Sebab beliau dalam ijtihadnya banyak menggunakan ra'yu atau qiyas dan mengembangkan madzhabnya yang sampai sekarang banyak dianut oleh kebanyakan bangsa Mesir, Turki dan India. Ulama Kufah terkenal dengan mazhab qiyasnya karena mereka dalam memahami fiqh banyak menggunkakan qiyas.
Hasil-hasil ijtihad dan pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal tersebut akhirnya dikembangkan dan dibukukan oleh pengikut-pengikutnya. Karenanya pengikut pengikut mereka masih eksis hingga saat ini. Hasil-hasil ijtihad dan pendapat para imam itulah yang kemudian kita kenal dengan mazhab.
Sebenarnya selain mereka (mazhab empat) ada juga mazhab lain tapi sayang mazhab mereka kurang dikenal karena pendapat-pendapatnya tidak dibukukan seperti mazhab yang empat. Akan tetapi kita dapat menemukan pendapat-pendapat mereka dalam kitab-kitab mazhab yang masyhur. Di antara mazhab-mazhab yang kurang dikenal tersebut adalah :
- Mazhab Auza'iyyah yang dinisbahkan kepada Abdurrahman Al Auza'i (wafat 113 H).
- Mazhab Atstsauri yang dinisbahkan kepada Imam Sufyan Atstsauri (wafat 161 H) dll.
HUKUM BERMADZHAB
Pada beberapa tahun yang silam di Jepang, tepatnya di Tokyo diadakan konferensi Islam. Dalam acara itu ada seorang yang menanyakan bagaimana hukumnya bermazhab, apakah wajib bagi seseorang untuk mengikuti salah satu mazhab yang empat. Pada kesempatan itu tampil syaikh Muhammad Sulthan Alma'sumi Al Khajandi, seorang pengajar di masjidil Haram Makkah. Beliau menyerukan kaum muslimin untuk kembali kepada yang pernah dilakukan oleh umat yang terbaik yaitu para sahabat. Beliau menyeru untuk tidak bertaqlid buta (fanatik) pada salah satu mazhab tertentu. Akan tetapi dipersilahkan mengambil dari tiap mujtahid atau ahli ijtihad dengan berdasarkan pada Alqur'an dan sunnah sebagai rujukan. Sebab sebenarnya mazhab-mazhab adalah pendapat dan pemahaman orang-orang berilmu dalam beberapa masalah. Pendapat, ijtihad dan pemahaman ini tidak diwajibkan oleh Allah dan rasul-Nya untuk mengikutinya. Karena di dalamnya terdapat kemungkinan betul dan salah. Karena tidak ada pendapat yang seratus persen benar kecuali yang berasal dari Rasulullah SAW.
Sementara itu mengikuti salah satu mazhab yang empat atau lainnya bukanlah persoalan wajib atau sunnah. Seorang muslim tidak diharuskan mengikuti salah satunya. Dan bahkan orang yang mengharuskan untuk mengikuti salah satunya sebenarnya ia seorang fanatik. Begitulah menurut Syekh Sulthan.
Lain lagi pendapat syekh Ramadlan Al Buthi dalam bukunya "Alla Mazhabiyyah , Akhtharu bida'in fil Islam" (Tidak bermazhab adalah bid'ah paling berbahaya dalam Islam). Beliau berpendapat wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti salah satu mazhab yang masyhur (mazhab empat). Sebab mazhab-mazhab itu sudah teruji kevalidannya. Namun kendati begitu tidak boleh bagi yang telah mengikuti salah satu mazhab tertentu menyalahkan orang di luar mazhabnya.
Dalam buku tersebut beliau membagi kaum muslimin sekarang menjadi dua golongan. Golongan muttabi' dan golongan muqallid. Orang yang telah faham (mengerti) Alqur'an dan sunnah wajib mengikuti mazhab tertentu sebagai kerangka berfikir, supaya ia tidak jatuh pada kesalahan. Golongan inilah yang disebut muttabi' Sementara orang yang belum faham terhadap Alqur'an dan sunnah diharuskan mengikuti ulama yang dianggap mengerti dalam masalah agama.Golongan yang ke dua ini disebut muqallid. Secara implisit beliau meniadakan kelompok yang ketiga, yaitu kelompok mujtahidin. Dengan kata lain beliau menutup pintu ijtihad untuk masa sekarang. Inilah yang kemudian ditentang oleh Muhammad Abu Abbas dalam bukunya "Al mazahibul muta'ashshabah hiyal bid'ah aw bid'atut ta'ashshubi al Mazhabi" Beliau berpendapat justru pintu ijtihad masih terbuka sampai sekarang dengan alasan Nabi telah membuka pintu ijtihad ini dan beliau tidak pernah menutupnya. Karenanya tidak ada seorangpun yang berhak untuk menutup pintu ijtihad tersebut.
Oleh karena itu Muhammad Abu Abbas membagi kaum muslimin pada tiga golongan, yaitu: Mujtahid, muttabi dan muqallid. Bagi mereka yang telah mampu untuk mengetahui dan mengkaji hukum-hukum langsung dari Alqur'an dan Sunnah walaupun hanya dalam masalah tertentu maka haram baginya bertaklid dalam masalah tersebut (golongan mujtahid). Sedangkan bagi mereka yang hanya mampu untuk mengkaji pendapat-pendapat para ulama serta mengetahui metode istimbath (pengambilan hukum) mereka dari Alqur'an dan sunnah maka kewajiban mereka adalah 'ittiba'. Jelasnya ittiba' -mengutip perkataan Abu Syamah- adalah mengikuti pendapat seorang ulama lantaran nyata dalilnya dan shah mazhabnya."
Adapun bagi orang yang betul-betul awam (tidak mengerti dalam masalah agama) BOLEH bagi mereka bertaklid dengan syarat, -sebagaimana dikatakan Imam Asysyatibi dalam ali'tishom- (Pertama) Tidak boleh bertaklid kecuali pada orang yang benar-benar ahli di bidang agama. (Kedua) Tidak boleh mengikat dirinya serta menutup dirinya dari mengikut selain mazhabnya, jika telah jelas padanya bahwa pendapat mazhabnya itu salah,maka wajib baginya mengikuti yang telah jelas kebenarannya.
Pendapat yang terahir inilah yang wasath (pertengahan). Sebab mengharamkan taklid secara mutlak adalah menafikan mereka yang benar-benar awam terhadap agama. Sedangkan mewajibkan taklid dan menutup pintu ijtihad berarti menghilangkan universalitas Islam yang senantiasa relevan dan responsive terhadap perkembangan zaman. Padahal banyak hal-hal baru yang tidak bisa dijawab dan disikapi kecuali dengan ijtihad. Jelasnya setiap orang perlu ditempatkan sesuai dengan kemampuan dan kondisinya.
Berarti fenomena bermadzhab adalah sesuatu yang perlu dilihat berdasarkan kondisi orang per-orang, yang tentunya tidak bisa digeneralisir. Tidak bisa diharuskan secara mutlak dan tidak bisa dilarang secara mutlak pula.
Berkaitan dengan masalah bermazhab ini ada dua hal yang perlu dijauhi oleh setiap muslim:
Fanatisme (ta'ashshub) terhadap suatu madzhab tertentu seraya memonopoli kebenaran apalagi jika sampai menimbulkan perpecahan. Sebab setiap orang kecuali nabi memiliki potensi untuk salah, walaupun ia seorang mujtahid. Karenanya Rasul bersabda : Barang siapa berijtihad dan ia benar maka baginya dua pahala, dan barang siapa berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala."
Tatabbu' rukhas atau mencari-cari pendapat para ulama yang paling mudah dan sesuai dengan seleranya. Perilaku seperti ini berarti mempermainkan agama. Sebab ia menggunakan dalih agama untuk memperturutkan hawa nafsunya. Wallahu a'lam bishshowab.
Kota-kota tersebut antara lain:
Madinah
Di kota ini berdiam seluruh khulafaurrasyidin dan sejumlah besar ulama sahabat. Di antaranya adalah Abdullah bin Abbas (wafat 68 H), Abdullah bin Umar (wafat 73 H) sebelum keduanya pindah ke Makkah, Zaid Bin Tsabit (wafat 45H), dll. Dari merekalah para ulama tabiin (generasi sesudah sahabat) -seperti Said bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman, Sulaiman bin Yasar dll- yang tinggal di madinah menimba ilmu.
Imam Malik adalah seorang ulama Madinah yang hidup setelah generasi tabiin tersebut. Beliau adalah seorang mujtahid dan ulama besar yang diikuti oleh banyak orang, yang kepada beliaulah mazhab Maliki di nisbahkan. Mazhab Maliki ini juga dikenal dengan mazhab ahlul hadis. Sebab mereka lebih banyak mendasarkan ijtihad mereka pada hadis-hadis Nabi yang banyak mereka terima dari para tabiin yang meriwayatkannya dari Rasulullah.
Makkah
Di antara sahabat besar yang tinggal di Makkah adalah Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar. Murid-murid beliau dari kalangan tabiin di antaranya adalah Atha' bin Rabah (wafat 114 H), Thawus bin Kaisan (wafat 124 H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H), Muslim bin Khalid al Jauzi dll. Muslim bin Khalid ini adalah guru Imam Syafii sebelum beliau pergi berguru kepada Imam Malik di Madinah. Sedangkan Sufyan bin Uyainah adalah salah satu guru Imam Ahmad bin Hambal.
Kufah
Di antara sahabat yang terkenal di kota ini adalah Abdullah bin Mash'ud (wafat 32 H) dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H). Di antara para murid mereka adalah: Alqomah bin Qais Annakha'i (wafat 60 H) dan Qadli Syuraih (wafat 78 H).
Kepada merekalah para fuqaha Kufah seperti Ibrahim Annakha'i, Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Syubrumah dan Imam Abu Hanifah belajar ilmu fiqh. Namun hanya Abu Hanifahlah yang kemudian mempunyai pengikut hingga sekarang. Mazhab beliau dikenal dengan mazhab Hanafi atau mazhab ahlu arra'yi. Sebab beliau dalam ijtihadnya banyak menggunakan ra'yu atau qiyas dan mengembangkan madzhabnya yang sampai sekarang banyak dianut oleh kebanyakan bangsa Mesir, Turki dan India. Ulama Kufah terkenal dengan mazhab qiyasnya karena mereka dalam memahami fiqh banyak menggunkakan qiyas.
Hasil-hasil ijtihad dan pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal tersebut akhirnya dikembangkan dan dibukukan oleh pengikut-pengikutnya. Karenanya pengikut pengikut mereka masih eksis hingga saat ini. Hasil-hasil ijtihad dan pendapat para imam itulah yang kemudian kita kenal dengan mazhab.
Sebenarnya selain mereka (mazhab empat) ada juga mazhab lain tapi sayang mazhab mereka kurang dikenal karena pendapat-pendapatnya tidak dibukukan seperti mazhab yang empat. Akan tetapi kita dapat menemukan pendapat-pendapat mereka dalam kitab-kitab mazhab yang masyhur. Di antara mazhab-mazhab yang kurang dikenal tersebut adalah :
- Mazhab Auza'iyyah yang dinisbahkan kepada Abdurrahman Al Auza'i (wafat 113 H).
- Mazhab Atstsauri yang dinisbahkan kepada Imam Sufyan Atstsauri (wafat 161 H) dll.
HUKUM BERMADZHAB
Pada beberapa tahun yang silam di Jepang, tepatnya di Tokyo diadakan konferensi Islam. Dalam acara itu ada seorang yang menanyakan bagaimana hukumnya bermazhab, apakah wajib bagi seseorang untuk mengikuti salah satu mazhab yang empat. Pada kesempatan itu tampil syaikh Muhammad Sulthan Alma'sumi Al Khajandi, seorang pengajar di masjidil Haram Makkah. Beliau menyerukan kaum muslimin untuk kembali kepada yang pernah dilakukan oleh umat yang terbaik yaitu para sahabat. Beliau menyeru untuk tidak bertaqlid buta (fanatik) pada salah satu mazhab tertentu. Akan tetapi dipersilahkan mengambil dari tiap mujtahid atau ahli ijtihad dengan berdasarkan pada Alqur'an dan sunnah sebagai rujukan. Sebab sebenarnya mazhab-mazhab adalah pendapat dan pemahaman orang-orang berilmu dalam beberapa masalah. Pendapat, ijtihad dan pemahaman ini tidak diwajibkan oleh Allah dan rasul-Nya untuk mengikutinya. Karena di dalamnya terdapat kemungkinan betul dan salah. Karena tidak ada pendapat yang seratus persen benar kecuali yang berasal dari Rasulullah SAW.
Sementara itu mengikuti salah satu mazhab yang empat atau lainnya bukanlah persoalan wajib atau sunnah. Seorang muslim tidak diharuskan mengikuti salah satunya. Dan bahkan orang yang mengharuskan untuk mengikuti salah satunya sebenarnya ia seorang fanatik. Begitulah menurut Syekh Sulthan.
Lain lagi pendapat syekh Ramadlan Al Buthi dalam bukunya "Alla Mazhabiyyah , Akhtharu bida'in fil Islam" (Tidak bermazhab adalah bid'ah paling berbahaya dalam Islam). Beliau berpendapat wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti salah satu mazhab yang masyhur (mazhab empat). Sebab mazhab-mazhab itu sudah teruji kevalidannya. Namun kendati begitu tidak boleh bagi yang telah mengikuti salah satu mazhab tertentu menyalahkan orang di luar mazhabnya.
Dalam buku tersebut beliau membagi kaum muslimin sekarang menjadi dua golongan. Golongan muttabi' dan golongan muqallid. Orang yang telah faham (mengerti) Alqur'an dan sunnah wajib mengikuti mazhab tertentu sebagai kerangka berfikir, supaya ia tidak jatuh pada kesalahan. Golongan inilah yang disebut muttabi' Sementara orang yang belum faham terhadap Alqur'an dan sunnah diharuskan mengikuti ulama yang dianggap mengerti dalam masalah agama.Golongan yang ke dua ini disebut muqallid. Secara implisit beliau meniadakan kelompok yang ketiga, yaitu kelompok mujtahidin. Dengan kata lain beliau menutup pintu ijtihad untuk masa sekarang. Inilah yang kemudian ditentang oleh Muhammad Abu Abbas dalam bukunya "Al mazahibul muta'ashshabah hiyal bid'ah aw bid'atut ta'ashshubi al Mazhabi" Beliau berpendapat justru pintu ijtihad masih terbuka sampai sekarang dengan alasan Nabi telah membuka pintu ijtihad ini dan beliau tidak pernah menutupnya. Karenanya tidak ada seorangpun yang berhak untuk menutup pintu ijtihad tersebut.
Oleh karena itu Muhammad Abu Abbas membagi kaum muslimin pada tiga golongan, yaitu: Mujtahid, muttabi dan muqallid. Bagi mereka yang telah mampu untuk mengetahui dan mengkaji hukum-hukum langsung dari Alqur'an dan Sunnah walaupun hanya dalam masalah tertentu maka haram baginya bertaklid dalam masalah tersebut (golongan mujtahid). Sedangkan bagi mereka yang hanya mampu untuk mengkaji pendapat-pendapat para ulama serta mengetahui metode istimbath (pengambilan hukum) mereka dari Alqur'an dan sunnah maka kewajiban mereka adalah 'ittiba'. Jelasnya ittiba' -mengutip perkataan Abu Syamah- adalah mengikuti pendapat seorang ulama lantaran nyata dalilnya dan shah mazhabnya."
Adapun bagi orang yang betul-betul awam (tidak mengerti dalam masalah agama) BOLEH bagi mereka bertaklid dengan syarat, -sebagaimana dikatakan Imam Asysyatibi dalam ali'tishom- (Pertama) Tidak boleh bertaklid kecuali pada orang yang benar-benar ahli di bidang agama. (Kedua) Tidak boleh mengikat dirinya serta menutup dirinya dari mengikut selain mazhabnya, jika telah jelas padanya bahwa pendapat mazhabnya itu salah,maka wajib baginya mengikuti yang telah jelas kebenarannya.
Pendapat yang terahir inilah yang wasath (pertengahan). Sebab mengharamkan taklid secara mutlak adalah menafikan mereka yang benar-benar awam terhadap agama. Sedangkan mewajibkan taklid dan menutup pintu ijtihad berarti menghilangkan universalitas Islam yang senantiasa relevan dan responsive terhadap perkembangan zaman. Padahal banyak hal-hal baru yang tidak bisa dijawab dan disikapi kecuali dengan ijtihad. Jelasnya setiap orang perlu ditempatkan sesuai dengan kemampuan dan kondisinya.
Berarti fenomena bermadzhab adalah sesuatu yang perlu dilihat berdasarkan kondisi orang per-orang, yang tentunya tidak bisa digeneralisir. Tidak bisa diharuskan secara mutlak dan tidak bisa dilarang secara mutlak pula.
Berkaitan dengan masalah bermazhab ini ada dua hal yang perlu dijauhi oleh setiap muslim:
Fanatisme (ta'ashshub) terhadap suatu madzhab tertentu seraya memonopoli kebenaran apalagi jika sampai menimbulkan perpecahan. Sebab setiap orang kecuali nabi memiliki potensi untuk salah, walaupun ia seorang mujtahid. Karenanya Rasul bersabda : Barang siapa berijtihad dan ia benar maka baginya dua pahala, dan barang siapa berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala."
Tatabbu' rukhas atau mencari-cari pendapat para ulama yang paling mudah dan sesuai dengan seleranya. Perilaku seperti ini berarti mempermainkan agama. Sebab ia menggunakan dalih agama untuk memperturutkan hawa nafsunya. Wallahu a'lam bishshowab.
0 Tanggapan untuk "Sejarah Mazhab dan Hukum Bermazhab"
Post a Comment