Yang Paling Mempesona Imannya
Tuesday, March 1, 2011
Tambahkan komentar
Malam sudah sampai ditengah-tengah, suara jalanan pun telah lengang. Dan kantuk itu tidak datang seperti biasanya. Ada yang menderu dalam relung dada. Ada yang bergemuruh. Sebuah kitab yang masih terbuka di pangkuan, penyebabnya. Kitab yang saya maksudkan agar mendatangkan lelap lebih mudah, ternyata malah berkebalikan. Biasanya belum sampai 2 halaman, mata ini pasti sudah rapat-rapat menutup begitu pula dengan kitabnya.
Lembar demi lembar saya telusuri samudera aksara bermakna, tak lelah mata membaca, fikiran mencerna dan seringnya hati gundah gulana. Saya ingin membaginya dengan kalian. Mudah -mudahan saya mampu.
***
Madinah Al-Munawarah, pada dini hari. Membran malam perlahan tersingkap, berganti dengan subuh syahdu. Lengang sunyi dengan udara dingin menggigit. Dan deru sahara hanya terdengar dari jauh. Cemerlang fajar sebentar lagi nampak. Shalat subuh hampir tiba, Rasulullah Saw dan para sahabat menyemut pada satu tempat, masjid. Semua hendak bertemu dengan yang di cinta, Allah. Namun sayang, air untuk berwudhu tidak setetes pun tersedia. Tempat mengambil air seperti biasanya kini kerontang.
Dan para sahabat pun terdiam, bahkan ada beberapa yang menyesali kenapa tidak mencari air terlebih dahulu untuk keperluan kekasih Allah itu berwudhu.Rasululllah pun bertanya kepada para sahabat "Adakah diantara kalian membawa kantung untuk menyimpan air?".
Berebut para sahabat mengangsurkan kantung air yang dimilikinya. Lalu, Nabi yang begitu mereka cintai itu meletakkan tangannya diatasnya. Tidak seberapa lama, jemari manusia pilihan itu memancarkan air yang bening. "Hai Bilal, panggil mereka untuk berwudhu" sabda nabi kepada Bilal.
Dan para sahabat pun tak sabar merengkuh aliran air dari jemari sang Nabi. Di basuhnya semua anggota wudhu, ada banyak gumpalan keharuan dan pesona yang menyeruak. Bahkan Ibnu mas'ud mereguk air tersebut sepenuh cinta.
Shalat subuh pun berlangsung sendu, suara nabi mengalun begitu merdu. Ada banyak telinga yang terbuai, hati yang mendesis menahan rindu. Selesai memimpin shalat, nabi duduk menghadap para sahabat. Semua mata memandang pada satu titik yang sama, Purnama Madinah. Dan di sana, duduk sesosok cinta bersiap memberikan hikmah, seperti biasanya.
"Wahai manusia, Aku ingin bertanya, siapakah yang paling mempesona imannya?" Al-Musthafa memulai majelisnya dengan pertanyaan.
"Malaikat ya Rasul Allah" hampir semua menjawab.
Dan nabi memandang lekat wajah para sahabat satu persatu. Janggut para sahabat masih terlihat basah. "Bagaimana mungkin malaikat tidak beriman sedangkan mereka adalah pelaksana perintah Allah."
"Para Nabi, ya Rasul Allah" jawab sahabat serentak.
"Dan bagaimana para Nabi tidak beriman, jika wahyu dari langit langsung turun untuk mereka".
"Kalau begitu, sahabat-sahabat engkau, wahai Rasulullah" pada saat menjawab ini banyak dari sahabat yang mengucapkannya malu-malu.
"Tentu saja para sahabat beriman kepada Allah, karena mereka menyaksikan apa yang mereka saksikan".
Selanjutnya, setelah para sahabat tidak mampu menjawabnya, sejenak mesjid menjadi hening. Semua bersiap dengan lanjutan sabda nabi yang mulia. Semua menunggu, sama seperti sebelumnya pesona sosok mulia yang duduk ditengah-tengah mereka mampu menarik semua pandangan laksana magnet yang berkekuatan maha dahsyat.
Dan suara kekasih Allah itu kembali terdengar. "Yang paling mempesona imannya adalah kaum yang datang jauh sesudah kalian. Mereka beriman kepadaku, meski tak pernah satu jeda mereka memandang aku. Mereka membenarkan ku sama seperti kalian, padahal tak sedetikpun mereka pernah melihat sosok ini. Mereka hanya menemukan tulisan, dan mereka tanpa ragu mengimaninya dengan mengamalkan perintah dalam tulisan itu. Mereka membelaku sama seperti kalian gigih berjuang demi aku. Mereka mencintaiku sebagaimana kalian, meskipun sama sekali mereka tidak pernah menjumpaiku Alangkah inginnya aku berjumpa dengan para ikhwanku itu".
Semua terpekur mendengar sabda tersebut. Kepada mereka nabi memanggil sapaan sahabat, sedang kepada kaum yang akan datang, nabi merinduinya dengan sebutan “ikhwan” atau "saudaraku". Alangkah bahagia bisa dirindui nabi sedemikian indah, benak para sahabat terliputi hal ini.
Dan terakhir nabi, mengumandangkan QS Al Baqarah ayat 3: "Mereka yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan menginfakkan sebagian dari apa yang kami berikan kepada mereka".
***
Sahabat...
Memang, tiada yang lebih indah, dari pada dirindui beliau seperti demikian. Tiada yang lebih indah, dari pada mendapat sebutan “ikhwan” atau "saudara" beliau. Tiada yang lebih indah, dari pada menjadi orang yang berpredikat “yang paling mempesona imannya”.
Dan memang kita kaum yang datang jauh sesudah para sahabat beliau. Namun, sudahkah kita beriman kepada beliau, meski tak pernah satu jeda kita memandang beliau? Sudahkah kita membenarkan beliau sama seperti para sahabat beliau, padahal tak sedetikpun kita pernah melihat sosok beliau?
Sahabat...
Memang kita hanya menemukan tulisan, dan mungkin kita tanpa ragu mengimaninya. Namun, sudahkah kita sepenuhnya mengamalkan perintah dalam tulisan itu? Sudahkah kita gigih berjuang demi beliau sebagaimana para sahabat beliau?? Wallahu a’lam.
Selanjutnya seorang ulama’ menghimbau, “Cintailah Rasululullah, maka ia akan menjadi pusat perhatian. Kapan saja ia diperbincangkan maka kita akan selalu semangat menyimak. Cintailah Rasulullah maka kita akan meniru perilakunya dengan hasil baik. Dan yang lebih dahsyat lagi, cintailah Rasulullah maka beliau akan menganggap kita sebagai saudara (ikhwan) dan janji Allah dalam QS. Annisa: 69, seorang pencinta Rasul akan digabungkan dengan orang-orang yang memperoleh nikmat Allah yaitu Para nabi, para shidiqin, para syahid dan orang-orang shaleh.”
***
Tak ada salahnya, pabila saat ini kita mengenang sosok yang hanya saya tahu ciri-cirinya dari sebuah buku. Mengapakah terlalu sering kita mengabaikan teladan sempurna ini. Bahkan, terlalu jauh kita terlontar dari sunnahnya. Padahal, engkau ya Rasul Allah, begitu memperhatikan kami, hingga kami disebut pada saat-saat terakhir kehidupanmu. Ketika maut menjemput, nafas satu-satu dan detik-detik penghabisan di dunia sebelum dengan anggun engkau dipanggil Allah.
Maafkan kami, ya nabi pilihan Allah, sirahmu kami baca tetapi kami hanya mengemasnya dengan rapi dalam memori sebagai sebuah kisah yang nantinya akan kami sampaikan kepada yang lain. Engkau merindukan umat yang berjuang untuk membelamu, padahal kami sama sekali tidak berbuat apapun. Engkau rindui sosok-sosok yang mencintaimu dengan segenap jiwa, dan kami tidak tahu apa bukti kecintaan yang telah kami persembahkan meski hanya sekuntum saja. Betapa malunya kami wahai Rasulallah.
Meski demikian, perkenankan kami menyampaikan salam, salam cinta dan salam kerinduan. Salam bagimu ya Rasul Allah, salam bagimu duhai kekasih Allah yang mulia. Inilah kami, kaum yang lemah dari sekian abad dari masamu yang terbentang, menyampaikan salam pekat kerinduan. Inilah kami, kaum yang dungu, meski dengan tubuh penuh dengan karat dosa, dengan mata yang seringkali tak terarah, dengan mulut yang kerap menghina dan berdusta, dengan telinga yang sering tuli terhadap kepedihan sesama, memberanikan diri menyapamu dalam kesendirian.
Mengenang engkau ya Rasul Allah, menetaskan dahaga hebat bagi kerontangnya jiwa ini untuk berjumpa denganmu. Mengingatimu tentang betapa rekatnya engkau mencintai para pengikut yang datang jauh setelah engkau tiada, mengkristalkan haru yang tiada tara. Betapapun besar rasa malu ini, terimalah salam, wahai pembawa cahaya kepada dunia.
Betapapun buruk rupa jiwa ini, betapapun kerdil pikiran ini,
Betapapun kelu lidah ini berucap, ingin kami sampaikan kepadamu wahai nabi al-musthafa:
“Shallaallaahu ala sayyidina muhammad, shallalhu alaihi wasallam...
Salam bagimu ya Rasul Allah”.
***
Sahabat, telah sering kita mengucapkan shalawat terhadap junjungan nabi mulia, bahkan mungkin disetiap jeda yang kita punya, salam untuk sang tercinta tak lupa kita ungkap. Namun apakah salam yang kita sampaikan benar-benar salam yang ikhlas, salam tanda cinta kita, ataukah salam yang refleks keluar dari mulut kita tanpa ada makna? Wallahu 'A'lam.
Lembar demi lembar saya telusuri samudera aksara bermakna, tak lelah mata membaca, fikiran mencerna dan seringnya hati gundah gulana. Saya ingin membaginya dengan kalian. Mudah -mudahan saya mampu.
***
Madinah Al-Munawarah, pada dini hari. Membran malam perlahan tersingkap, berganti dengan subuh syahdu. Lengang sunyi dengan udara dingin menggigit. Dan deru sahara hanya terdengar dari jauh. Cemerlang fajar sebentar lagi nampak. Shalat subuh hampir tiba, Rasulullah Saw dan para sahabat menyemut pada satu tempat, masjid. Semua hendak bertemu dengan yang di cinta, Allah. Namun sayang, air untuk berwudhu tidak setetes pun tersedia. Tempat mengambil air seperti biasanya kini kerontang.
Dan para sahabat pun terdiam, bahkan ada beberapa yang menyesali kenapa tidak mencari air terlebih dahulu untuk keperluan kekasih Allah itu berwudhu.Rasululllah pun bertanya kepada para sahabat "Adakah diantara kalian membawa kantung untuk menyimpan air?".
Berebut para sahabat mengangsurkan kantung air yang dimilikinya. Lalu, Nabi yang begitu mereka cintai itu meletakkan tangannya diatasnya. Tidak seberapa lama, jemari manusia pilihan itu memancarkan air yang bening. "Hai Bilal, panggil mereka untuk berwudhu" sabda nabi kepada Bilal.
Dan para sahabat pun tak sabar merengkuh aliran air dari jemari sang Nabi. Di basuhnya semua anggota wudhu, ada banyak gumpalan keharuan dan pesona yang menyeruak. Bahkan Ibnu mas'ud mereguk air tersebut sepenuh cinta.
Shalat subuh pun berlangsung sendu, suara nabi mengalun begitu merdu. Ada banyak telinga yang terbuai, hati yang mendesis menahan rindu. Selesai memimpin shalat, nabi duduk menghadap para sahabat. Semua mata memandang pada satu titik yang sama, Purnama Madinah. Dan di sana, duduk sesosok cinta bersiap memberikan hikmah, seperti biasanya.
"Wahai manusia, Aku ingin bertanya, siapakah yang paling mempesona imannya?" Al-Musthafa memulai majelisnya dengan pertanyaan.
"Malaikat ya Rasul Allah" hampir semua menjawab.
Dan nabi memandang lekat wajah para sahabat satu persatu. Janggut para sahabat masih terlihat basah. "Bagaimana mungkin malaikat tidak beriman sedangkan mereka adalah pelaksana perintah Allah."
"Para Nabi, ya Rasul Allah" jawab sahabat serentak.
"Dan bagaimana para Nabi tidak beriman, jika wahyu dari langit langsung turun untuk mereka".
"Kalau begitu, sahabat-sahabat engkau, wahai Rasulullah" pada saat menjawab ini banyak dari sahabat yang mengucapkannya malu-malu.
"Tentu saja para sahabat beriman kepada Allah, karena mereka menyaksikan apa yang mereka saksikan".
Selanjutnya, setelah para sahabat tidak mampu menjawabnya, sejenak mesjid menjadi hening. Semua bersiap dengan lanjutan sabda nabi yang mulia. Semua menunggu, sama seperti sebelumnya pesona sosok mulia yang duduk ditengah-tengah mereka mampu menarik semua pandangan laksana magnet yang berkekuatan maha dahsyat.
Dan suara kekasih Allah itu kembali terdengar. "Yang paling mempesona imannya adalah kaum yang datang jauh sesudah kalian. Mereka beriman kepadaku, meski tak pernah satu jeda mereka memandang aku. Mereka membenarkan ku sama seperti kalian, padahal tak sedetikpun mereka pernah melihat sosok ini. Mereka hanya menemukan tulisan, dan mereka tanpa ragu mengimaninya dengan mengamalkan perintah dalam tulisan itu. Mereka membelaku sama seperti kalian gigih berjuang demi aku. Mereka mencintaiku sebagaimana kalian, meskipun sama sekali mereka tidak pernah menjumpaiku Alangkah inginnya aku berjumpa dengan para ikhwanku itu".
Semua terpekur mendengar sabda tersebut. Kepada mereka nabi memanggil sapaan sahabat, sedang kepada kaum yang akan datang, nabi merinduinya dengan sebutan “ikhwan” atau "saudaraku". Alangkah bahagia bisa dirindui nabi sedemikian indah, benak para sahabat terliputi hal ini.
Dan terakhir nabi, mengumandangkan QS Al Baqarah ayat 3: "Mereka yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan menginfakkan sebagian dari apa yang kami berikan kepada mereka".
***
Sahabat...
Memang, tiada yang lebih indah, dari pada dirindui beliau seperti demikian. Tiada yang lebih indah, dari pada mendapat sebutan “ikhwan” atau "saudara" beliau. Tiada yang lebih indah, dari pada menjadi orang yang berpredikat “yang paling mempesona imannya”.
Dan memang kita kaum yang datang jauh sesudah para sahabat beliau. Namun, sudahkah kita beriman kepada beliau, meski tak pernah satu jeda kita memandang beliau? Sudahkah kita membenarkan beliau sama seperti para sahabat beliau, padahal tak sedetikpun kita pernah melihat sosok beliau?
Sahabat...
Memang kita hanya menemukan tulisan, dan mungkin kita tanpa ragu mengimaninya. Namun, sudahkah kita sepenuhnya mengamalkan perintah dalam tulisan itu? Sudahkah kita gigih berjuang demi beliau sebagaimana para sahabat beliau?? Wallahu a’lam.
Selanjutnya seorang ulama’ menghimbau, “Cintailah Rasululullah, maka ia akan menjadi pusat perhatian. Kapan saja ia diperbincangkan maka kita akan selalu semangat menyimak. Cintailah Rasulullah maka kita akan meniru perilakunya dengan hasil baik. Dan yang lebih dahsyat lagi, cintailah Rasulullah maka beliau akan menganggap kita sebagai saudara (ikhwan) dan janji Allah dalam QS. Annisa: 69, seorang pencinta Rasul akan digabungkan dengan orang-orang yang memperoleh nikmat Allah yaitu Para nabi, para shidiqin, para syahid dan orang-orang shaleh.”
***
Tak ada salahnya, pabila saat ini kita mengenang sosok yang hanya saya tahu ciri-cirinya dari sebuah buku. Mengapakah terlalu sering kita mengabaikan teladan sempurna ini. Bahkan, terlalu jauh kita terlontar dari sunnahnya. Padahal, engkau ya Rasul Allah, begitu memperhatikan kami, hingga kami disebut pada saat-saat terakhir kehidupanmu. Ketika maut menjemput, nafas satu-satu dan detik-detik penghabisan di dunia sebelum dengan anggun engkau dipanggil Allah.
Maafkan kami, ya nabi pilihan Allah, sirahmu kami baca tetapi kami hanya mengemasnya dengan rapi dalam memori sebagai sebuah kisah yang nantinya akan kami sampaikan kepada yang lain. Engkau merindukan umat yang berjuang untuk membelamu, padahal kami sama sekali tidak berbuat apapun. Engkau rindui sosok-sosok yang mencintaimu dengan segenap jiwa, dan kami tidak tahu apa bukti kecintaan yang telah kami persembahkan meski hanya sekuntum saja. Betapa malunya kami wahai Rasulallah.
Meski demikian, perkenankan kami menyampaikan salam, salam cinta dan salam kerinduan. Salam bagimu ya Rasul Allah, salam bagimu duhai kekasih Allah yang mulia. Inilah kami, kaum yang lemah dari sekian abad dari masamu yang terbentang, menyampaikan salam pekat kerinduan. Inilah kami, kaum yang dungu, meski dengan tubuh penuh dengan karat dosa, dengan mata yang seringkali tak terarah, dengan mulut yang kerap menghina dan berdusta, dengan telinga yang sering tuli terhadap kepedihan sesama, memberanikan diri menyapamu dalam kesendirian.
Mengenang engkau ya Rasul Allah, menetaskan dahaga hebat bagi kerontangnya jiwa ini untuk berjumpa denganmu. Mengingatimu tentang betapa rekatnya engkau mencintai para pengikut yang datang jauh setelah engkau tiada, mengkristalkan haru yang tiada tara. Betapapun besar rasa malu ini, terimalah salam, wahai pembawa cahaya kepada dunia.
Betapapun buruk rupa jiwa ini, betapapun kerdil pikiran ini,
Betapapun kelu lidah ini berucap, ingin kami sampaikan kepadamu wahai nabi al-musthafa:
“Shallaallaahu ala sayyidina muhammad, shallalhu alaihi wasallam...
Salam bagimu ya Rasul Allah”.
***
Sahabat, telah sering kita mengucapkan shalawat terhadap junjungan nabi mulia, bahkan mungkin disetiap jeda yang kita punya, salam untuk sang tercinta tak lupa kita ungkap. Namun apakah salam yang kita sampaikan benar-benar salam yang ikhlas, salam tanda cinta kita, ataukah salam yang refleks keluar dari mulut kita tanpa ada makna? Wallahu 'A'lam.
0 Tanggapan untuk "Yang Paling Mempesona Imannya"
Post a Comment