Pendidikan dan Toleransi Beragama
Monday, April 11, 2011
Tambahkan komentar
Oleh: Alfanny
Toleransi beragama di Tanah Air akhir-akhir ini seakan mencapai titik nadir setelah terjadinya pro-kontra seputar Ahmadiyah maupun keluhan sejumlah umat agama minoritas yang merasa dipersulit untuk mendirikan rumah ibadah.
Munculnya toleransi beragama di masyarakat tentu tidak dapat muncul dengan sendirinya. Ia adalah buah dari proses pendidikan yang panjang yang senantiasa menekankan pada sikap menghargai perbedaan, apapun perbedaan itu. Kini, dengan derajat toleransi beragama yang makin menurun di masyarakat, agaknya perlu dicermati kembali bagaimana sistem dan proses pendidikan yang berjalan di masyarakat.
Ternyata, di tengah makin inklusifnya kehidupan sosial umat beragama dan makin sedikitnya dukungan kepada partai politik yang menjadikan agama sebagai labelnya, dunia pendidikan menunjukkan kecenderungan ekslusifitas beragama yang makin meningkat. Contohnya, makin maraknya sekolah-sekolah bernuansa agama yang bersifat ekslusif, terutama yang didirikan oleh swasta. Sekolah-sekolah swasta yang bernafaskan kebangsaan dan inklusif seperti Taman Siswa, Perguruan Cikini dan sebagainya kini kurang mendapatkan tempat di masyarakat. Para orang tua lebih memilih sekolah-sekolah yang bernafaskan agama bagi putra-putrinya dengan alasan bahwa pendidikan agama perlu ditanamkan secara dini. Di satu sisi, argumentasi tersebut sangat tepat, tapi di sisi yang lain sang anak kehilangan kesempatan untuk sedari dini mengenal teman-temannya yang berbeda agama.
Sementara itu sekolah-sekolah negeri yang seharusnya bercirikan inklusif justru malah ikut-ikutan trend masyarakat yang makin ekslusif. Di sekolah-sekolah negeri bahkan setiap hari Jumat mewajibkan siswanya yang muslim mengenakan busana Muslim, khususnya jilbab bagi pelajar putri. Bagaimana halnya dengan pelajar putri yang non Muslim, apakah mereka juga wajib berjilbab pada hari Jumat? Tentu tidak, mereka hanya wajib “menyesuaikan diri”. Dalam proses “penyesuaian diri” itulah banyak pelajar putri non Muslim yang mengalami perasaan diskriminasi dan dibedakan hanya karena mereka tidak berjilbab.
Belum lagi, bila berbicara tentang muatan pelajaran agama di sekolah yang kurang memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengenal agama di luar agamanya masing-masing. Kepada setiap siswa hanya ditanamkan tentang kebenaran agama dan keyakinan masing-masing, tanpa diberikan pemahaman bahwa “kebenaran” ada juga di agama lain. Sifat doktriner pelajaran agama di sekolah telah menutup ruang bagi siswa untuk mengenal “kebenaran” agama lain yang kemudian pada gilirannya dapat menimbulkan sikap menghargai perbedaan, sikap toleransi beragama.
Sudah saatnya para orang tua mengambil pilihan-pilihan bijak demi tumbuhnya sikap toleransi beragama pada putra-putrinya. Para orang tua hendaknya menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah yang inklusif dan memberikan tambahan les agama secara privat untuk memperkuat ilmu agama dan moral putra-putrinya. Dengan bersekolah di lembaga pendidikan yang inklusif, sang anak akan mendapatkan kesempatan mengenal teman-temannya yang mempunyai keyakinan berbeda sehingga pada gilirannya akan menumbuhkan sikap toleransi beragama. Semoga!
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah MataAir
Toleransi beragama di Tanah Air akhir-akhir ini seakan mencapai titik nadir setelah terjadinya pro-kontra seputar Ahmadiyah maupun keluhan sejumlah umat agama minoritas yang merasa dipersulit untuk mendirikan rumah ibadah.
Munculnya toleransi beragama di masyarakat tentu tidak dapat muncul dengan sendirinya. Ia adalah buah dari proses pendidikan yang panjang yang senantiasa menekankan pada sikap menghargai perbedaan, apapun perbedaan itu. Kini, dengan derajat toleransi beragama yang makin menurun di masyarakat, agaknya perlu dicermati kembali bagaimana sistem dan proses pendidikan yang berjalan di masyarakat.
Ternyata, di tengah makin inklusifnya kehidupan sosial umat beragama dan makin sedikitnya dukungan kepada partai politik yang menjadikan agama sebagai labelnya, dunia pendidikan menunjukkan kecenderungan ekslusifitas beragama yang makin meningkat. Contohnya, makin maraknya sekolah-sekolah bernuansa agama yang bersifat ekslusif, terutama yang didirikan oleh swasta. Sekolah-sekolah swasta yang bernafaskan kebangsaan dan inklusif seperti Taman Siswa, Perguruan Cikini dan sebagainya kini kurang mendapatkan tempat di masyarakat. Para orang tua lebih memilih sekolah-sekolah yang bernafaskan agama bagi putra-putrinya dengan alasan bahwa pendidikan agama perlu ditanamkan secara dini. Di satu sisi, argumentasi tersebut sangat tepat, tapi di sisi yang lain sang anak kehilangan kesempatan untuk sedari dini mengenal teman-temannya yang berbeda agama.
Sementara itu sekolah-sekolah negeri yang seharusnya bercirikan inklusif justru malah ikut-ikutan trend masyarakat yang makin ekslusif. Di sekolah-sekolah negeri bahkan setiap hari Jumat mewajibkan siswanya yang muslim mengenakan busana Muslim, khususnya jilbab bagi pelajar putri. Bagaimana halnya dengan pelajar putri yang non Muslim, apakah mereka juga wajib berjilbab pada hari Jumat? Tentu tidak, mereka hanya wajib “menyesuaikan diri”. Dalam proses “penyesuaian diri” itulah banyak pelajar putri non Muslim yang mengalami perasaan diskriminasi dan dibedakan hanya karena mereka tidak berjilbab.
Belum lagi, bila berbicara tentang muatan pelajaran agama di sekolah yang kurang memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengenal agama di luar agamanya masing-masing. Kepada setiap siswa hanya ditanamkan tentang kebenaran agama dan keyakinan masing-masing, tanpa diberikan pemahaman bahwa “kebenaran” ada juga di agama lain. Sifat doktriner pelajaran agama di sekolah telah menutup ruang bagi siswa untuk mengenal “kebenaran” agama lain yang kemudian pada gilirannya dapat menimbulkan sikap menghargai perbedaan, sikap toleransi beragama.
Sudah saatnya para orang tua mengambil pilihan-pilihan bijak demi tumbuhnya sikap toleransi beragama pada putra-putrinya. Para orang tua hendaknya menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah yang inklusif dan memberikan tambahan les agama secara privat untuk memperkuat ilmu agama dan moral putra-putrinya. Dengan bersekolah di lembaga pendidikan yang inklusif, sang anak akan mendapatkan kesempatan mengenal teman-temannya yang mempunyai keyakinan berbeda sehingga pada gilirannya akan menumbuhkan sikap toleransi beragama. Semoga!
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah MataAir
0 Tanggapan untuk "Pendidikan dan Toleransi Beragama"
Post a Comment