Misi Kemanusiaan Agung Itu Bernama Pernikahan
Monday, May 2, 2011
Tambahkan komentar
Iffah, salah seorang teman baik saya, menitikkan air mata ketika menyimak petuah-petuah Ilahi yang dikhutbahkan seorang ustadz. Hari itu ia tengah menghadapi detik-detik bersejarah: ia segera disunting seorang pria pilihannya. "Jadi misi besar pernikahan itu hakikatnya secara garis besar ada dua. Pertama, memperbanyak keturunan atau regenerasi agar manusia secara besama-sama mampu mengelola bumi sebagai nikmat besar yang diwariskan Allah SWT kepada manusia. Yang kedua, misi pemeliharaan bumi dari tangan-tangan kotor para kaum pendosa yang akan merusak warisanNya tersebut," petuah sang Ustadz sembari ia mengutip surat Annisa ayat satu.
Karena itu, lanjut sang Ustadz, regenerasi yang diinginkan Al Quran, bukanlah sekadar berorientasi pada kuantitas. Tapi juga kualitas, yakni lahirnya generasi-generasi taqwa. "Sebab, upaya-upaya manusia mengeksploitasi bumi tidaklah akan memberikan kemanfaatan bagi sesama makhluk Allah, kecuali tugas itu diserahkan orang-orang beriman, yakni para generasi yang sholeh," serunya.
Boleh jadi sedikit sekali yang mau menyelami hakikat misi agung yang ada di balik pernikahan. Misi mengelola dan memelihara bumi sekaligus yang dipikulkan di atas pundak manusia, sebagaimana yang dikhutbahkan sang Ustadz di atas, ternyata berkaitan erat dengan misi pernikahan.
Dalam pandangan masyarakat modern, pernikahan mungkin dipandang tak lebih sebuah seremonial formal yang menandai berakhirnya masa lajang seseorang. Atau lebih dari itu, pernikahan dianggap sebagai institusi di mana dua insan berlainan jenis dinyatakan sah hidup bersama di dalamnya. Bercumbu, memadu kasih, mengumpulkan harta, dan melakukan aktivitas apa saja, sembari menyiapkan masa depan bagi anak-anak dan keturunan mereka. Sahkah asumsi itu? Tentu, sah-sah saja bila ada yang berpandangan demikian.
Cetusan syahwat (nafsu) itu memang diakui oleh Al Qur'anul Karim. "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (syurga)." (QS 3 : 14).
Betul, siapa yang bisa menafikan betapa indahnya pernikahan? Mendapat suami atau istri yang ganteng/cantik, pintar, serta berharta? Tentu ini menjadi dambaan setiap manusia. Apalagi bila sebuah keluarga dikarunia Allah keturunan yang ganteng/cantik serta mampu jadi orang terpandang pada masa dewasanya. Pasti akan jadi kebanggaan setiap orang tua.
Tapi jika hanya sebatas itu pemahaman kita tentang misi pernikahan, tentu tak sempurna. Sebab dikhawatirkan institusi keluarga hanya berorientasi pada pemberdayaan anggota keluarga sendiri tanpa peduli pada keadaan sosial masyarakat sekelilingnya. Antara satu keluarga dengan keluarga yang lain tak memiliki aksi dan misi bersama. Sebaliknya, mereka hidup nafsi-nafsi bahkan saling adu gengsi untuk bisa mempertontonkan apa-apa yang bisa dibanggakan. Entah dari harta yang dimiliki, atau keturunan.
Inilah kehidupan egoistik dan individualistik yang sangat mungkin lahir dari paradigma pernikahan yang tak sempurna. Hubungan antar anggota masyarakat pun boleh jadi hanya basa-basi. Lewat klub-klub olahraga, klub makan-siang, klub fitness, klub fans artis idola, arisan, dan lain sebagainya yang kering dari misi sosial. Kehangatan dan keakraban yang tulus pun tak tumbuh. Lantaran semua interaksi itu tidak didasari visi dan misi untuk kebaikan bersama. Tapi tak lebih sekadar adu gengsi: pamer harta, pangkat, kekuasaan dan jabatan.
Mungkin keadaan demikian yang disinyalir Al Quran Suci, bahwa kelak manusia akan berlomba-lomba saling adu gengsi.
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu. Kelak kamu akan mengetahui (akibat) perbuatanmu itu. Dan janganlah begitu. Kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu. Jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahannam. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. Dan kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu bermegah-megahan dengannya ketika di dunia)" (QS 102 : 1-8).
Al Quran tak menafikan, pernikahan adalah institusi robbani yang memang disediakan bagi dua insan berlainan jenis untuk menyalurkan hasrat cinta dan kasih sayang antar sesama. Agar rumah tangga yang dibentuk itu menjadi terminal yang aman dan nyaman serta memberi ketenangan lahir-batin bagi seluruh anggota keluarga (QS 30:21). Tapi bukan semata-mata itu tujuan pernikahan. Itu adalah misi antara.
Lebih dari itu, sebuah keluarga yang akan dibangun haruslah dicita-citakan untuk tujuan yang lebih makro. Sebagai pabrik yang akan memproduk generasi saleh. Agar mereka menjadi pengelola dan sekaligus penjaga warisan Allah, yakni bumi yang amat luar biasa kandungan kekayaannya. Itulah misi pertama dan utama bangunan pernikahan. Tak pelak bila Allah menyebut pernikahan sebagai perjanjian agung (miitsaqon goliidzho) sebagaimana termaktub di dalam KitabNya surat Annisa ayat 21.
Sehingga pernikahan haruslah merupakan jembatan pertama bagi para anggota keluarga mengenali lingkungan sosialnya. Lalu berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya, untuk selanjutnya bekerjasama dalam kebaikan. Antar keluarga di dalam sebuah masyarakat, seyogyanya memiliki misi yang sama untuk mencapai kebaikan bersama. Karena itu, keluarga satu dengan lainnya di mana pun mereka berdominisili, haruslah memiliki link-link yang kokoh dalam kerangka menata kehidupan sosial masyarakat lingkungannya.
Sebagai konsekuensi dari adanya kepentingan yang sama untuk mencapai kemashlatan bersama itu, maka setiap penyimpangan yang dilakukan oleh anggota keluarga siapapun, semua keluarga ikut bertanggungjawab mencarikan solusinya. Agar keseimbangan dan keharmonisan kehidupan sosial dapat terus dipelihara dan dipertahankan. Bila kesadaran bersama ini tumbuh kokoh, sangat kecil kemungkinan timbul disharmoni hubungan masyarakat.
Wajar bila Islam memandang, bahwa keluarga adalah ibu peradaban. Darinya lah lahir masyarakat, budaya, dan peradaban. Bagaimana wajah sosial, budaya, dan peradaban sebuah komunitas atau bangsa, sesungguhnya merupakan cerminan pemahaman masyarakat itu tentang keluarga.
Betapa sentral dan mendasarnya peran sebuah keluarga, menjadi alasan kenapa Islam mengarahkan setiap pemeluknya berhati-hati dalam mencari pasangan. Diharamkan seorang mukmin atau mukminat menikah dengan atau dinikahi orang-orang musyrik. Karena pernikahan bukan sekadar pertemuan dua jasad, dua hati, dan dua pemikiran. Tapi pernikahan hakikatnya, peristiwa berlangsungnya koalisi dua kekuatan iman untuk mencapai cita-cita agung.
Karena itu Rasul mulia berpesan, "Wanita itu dinikahi atas 4 hal. Karena hartanya, karena kecantikannya, karena keturunannya, dan karena diennya. Maka ambillah wanita yang baik diennya. Pasti engkau akan beruntung."
Tak berlebihan jika Fathi Yakan menyatakan dalam salah satu bukunya, "Jika kehidupan suatu masyarakat carut-marut, pastilah sumber permasalahannya adalah keluarga."
Boleh jadi kenapa Iffah kawan saya menitikkan air mata. Mungkin ia baru menyadari bahwa pernikahan bukanlah sekadar hiasan kosmetik kehidupan. Namun betapa agungnya misi yang diembannya. Walau itu tentunya berat. Tapi sekali lagi, jangan takut menikah bagi mereka yang belum menikah. Wallahu a'lam bish showab.
Karena itu, lanjut sang Ustadz, regenerasi yang diinginkan Al Quran, bukanlah sekadar berorientasi pada kuantitas. Tapi juga kualitas, yakni lahirnya generasi-generasi taqwa. "Sebab, upaya-upaya manusia mengeksploitasi bumi tidaklah akan memberikan kemanfaatan bagi sesama makhluk Allah, kecuali tugas itu diserahkan orang-orang beriman, yakni para generasi yang sholeh," serunya.
Boleh jadi sedikit sekali yang mau menyelami hakikat misi agung yang ada di balik pernikahan. Misi mengelola dan memelihara bumi sekaligus yang dipikulkan di atas pundak manusia, sebagaimana yang dikhutbahkan sang Ustadz di atas, ternyata berkaitan erat dengan misi pernikahan.
Dalam pandangan masyarakat modern, pernikahan mungkin dipandang tak lebih sebuah seremonial formal yang menandai berakhirnya masa lajang seseorang. Atau lebih dari itu, pernikahan dianggap sebagai institusi di mana dua insan berlainan jenis dinyatakan sah hidup bersama di dalamnya. Bercumbu, memadu kasih, mengumpulkan harta, dan melakukan aktivitas apa saja, sembari menyiapkan masa depan bagi anak-anak dan keturunan mereka. Sahkah asumsi itu? Tentu, sah-sah saja bila ada yang berpandangan demikian.
Cetusan syahwat (nafsu) itu memang diakui oleh Al Qur'anul Karim. "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (syurga)." (QS 3 : 14).
Betul, siapa yang bisa menafikan betapa indahnya pernikahan? Mendapat suami atau istri yang ganteng/cantik, pintar, serta berharta? Tentu ini menjadi dambaan setiap manusia. Apalagi bila sebuah keluarga dikarunia Allah keturunan yang ganteng/cantik serta mampu jadi orang terpandang pada masa dewasanya. Pasti akan jadi kebanggaan setiap orang tua.
Tapi jika hanya sebatas itu pemahaman kita tentang misi pernikahan, tentu tak sempurna. Sebab dikhawatirkan institusi keluarga hanya berorientasi pada pemberdayaan anggota keluarga sendiri tanpa peduli pada keadaan sosial masyarakat sekelilingnya. Antara satu keluarga dengan keluarga yang lain tak memiliki aksi dan misi bersama. Sebaliknya, mereka hidup nafsi-nafsi bahkan saling adu gengsi untuk bisa mempertontonkan apa-apa yang bisa dibanggakan. Entah dari harta yang dimiliki, atau keturunan.
Inilah kehidupan egoistik dan individualistik yang sangat mungkin lahir dari paradigma pernikahan yang tak sempurna. Hubungan antar anggota masyarakat pun boleh jadi hanya basa-basi. Lewat klub-klub olahraga, klub makan-siang, klub fitness, klub fans artis idola, arisan, dan lain sebagainya yang kering dari misi sosial. Kehangatan dan keakraban yang tulus pun tak tumbuh. Lantaran semua interaksi itu tidak didasari visi dan misi untuk kebaikan bersama. Tapi tak lebih sekadar adu gengsi: pamer harta, pangkat, kekuasaan dan jabatan.
Mungkin keadaan demikian yang disinyalir Al Quran Suci, bahwa kelak manusia akan berlomba-lomba saling adu gengsi.
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu. Kelak kamu akan mengetahui (akibat) perbuatanmu itu. Dan janganlah begitu. Kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu. Jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahannam. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. Dan kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu bermegah-megahan dengannya ketika di dunia)" (QS 102 : 1-8).
Al Quran tak menafikan, pernikahan adalah institusi robbani yang memang disediakan bagi dua insan berlainan jenis untuk menyalurkan hasrat cinta dan kasih sayang antar sesama. Agar rumah tangga yang dibentuk itu menjadi terminal yang aman dan nyaman serta memberi ketenangan lahir-batin bagi seluruh anggota keluarga (QS 30:21). Tapi bukan semata-mata itu tujuan pernikahan. Itu adalah misi antara.
Lebih dari itu, sebuah keluarga yang akan dibangun haruslah dicita-citakan untuk tujuan yang lebih makro. Sebagai pabrik yang akan memproduk generasi saleh. Agar mereka menjadi pengelola dan sekaligus penjaga warisan Allah, yakni bumi yang amat luar biasa kandungan kekayaannya. Itulah misi pertama dan utama bangunan pernikahan. Tak pelak bila Allah menyebut pernikahan sebagai perjanjian agung (miitsaqon goliidzho) sebagaimana termaktub di dalam KitabNya surat Annisa ayat 21.
Sehingga pernikahan haruslah merupakan jembatan pertama bagi para anggota keluarga mengenali lingkungan sosialnya. Lalu berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya, untuk selanjutnya bekerjasama dalam kebaikan. Antar keluarga di dalam sebuah masyarakat, seyogyanya memiliki misi yang sama untuk mencapai kebaikan bersama. Karena itu, keluarga satu dengan lainnya di mana pun mereka berdominisili, haruslah memiliki link-link yang kokoh dalam kerangka menata kehidupan sosial masyarakat lingkungannya.
Sebagai konsekuensi dari adanya kepentingan yang sama untuk mencapai kemashlatan bersama itu, maka setiap penyimpangan yang dilakukan oleh anggota keluarga siapapun, semua keluarga ikut bertanggungjawab mencarikan solusinya. Agar keseimbangan dan keharmonisan kehidupan sosial dapat terus dipelihara dan dipertahankan. Bila kesadaran bersama ini tumbuh kokoh, sangat kecil kemungkinan timbul disharmoni hubungan masyarakat.
Wajar bila Islam memandang, bahwa keluarga adalah ibu peradaban. Darinya lah lahir masyarakat, budaya, dan peradaban. Bagaimana wajah sosial, budaya, dan peradaban sebuah komunitas atau bangsa, sesungguhnya merupakan cerminan pemahaman masyarakat itu tentang keluarga.
Betapa sentral dan mendasarnya peran sebuah keluarga, menjadi alasan kenapa Islam mengarahkan setiap pemeluknya berhati-hati dalam mencari pasangan. Diharamkan seorang mukmin atau mukminat menikah dengan atau dinikahi orang-orang musyrik. Karena pernikahan bukan sekadar pertemuan dua jasad, dua hati, dan dua pemikiran. Tapi pernikahan hakikatnya, peristiwa berlangsungnya koalisi dua kekuatan iman untuk mencapai cita-cita agung.
Karena itu Rasul mulia berpesan, "Wanita itu dinikahi atas 4 hal. Karena hartanya, karena kecantikannya, karena keturunannya, dan karena diennya. Maka ambillah wanita yang baik diennya. Pasti engkau akan beruntung."
Tak berlebihan jika Fathi Yakan menyatakan dalam salah satu bukunya, "Jika kehidupan suatu masyarakat carut-marut, pastilah sumber permasalahannya adalah keluarga."
Boleh jadi kenapa Iffah kawan saya menitikkan air mata. Mungkin ia baru menyadari bahwa pernikahan bukanlah sekadar hiasan kosmetik kehidupan. Namun betapa agungnya misi yang diembannya. Walau itu tentunya berat. Tapi sekali lagi, jangan takut menikah bagi mereka yang belum menikah. Wallahu a'lam bish showab.
0 Tanggapan untuk "Misi Kemanusiaan Agung Itu Bernama Pernikahan"
Post a Comment