Agar Umur Kemesraan Itu Bisa Tahan Lama
Sunday, July 10, 2011
Tambahkan komentar
Seorang ibu rumah tangga paruh baya (sebut saja Bu Imah) belakangan ini mulai uring-uringan. Pasalnya dia merasakan sikap suaminya yang mulai kendor perhatiannya. Dalam arti, sang suami jarang lagi bertanya-tanya berbagai hal tentang keadaan di rumah. Hal yang dulu sebetulnya menjadi menu harian Bu Imah bila suaminya pulang dari kantor. Termasuk juga saat-saat menjelang tidur. Entah itu pertanyaan seputar keadaan anak-anak, keadaan dirinya, dan juga pertanyaan seputar aktivitas pengajiannya di luar. Pendek kata, Bu Imah merasakan suasana yang hambar serta membosankan dengan sikap pasif suaminya belakangan ini.
“Heran tuh, Mas-ku sudah tidak seperti dulu lagi. Kelihatannya mulai acuh sama aku. Mungkin dia sudah nikah lagi apa ya?” ungkap ibu tiga orang anak yang aseli Tegal itu cemas pada ibu sebelah rumahnya. Dia saat itu curhat panjang lebar tentang kondisi suaminya kepada teman ngobrolnya sehari-hari itu.
Usai diceritakan kisah itu, tetangga Bu Imah cuma mesem-mesem. Dia berusaha meredakan kecemasan hati sobatnya. Sebab tetangga Bu Imah itu tahu, bahwa suami temannya itu orang baik-baik. Rajin ke masjid dan aktif pada setiap kegiatan RT, serta masih aktif memimpin sebuah majelis taklim di lingkungan tempat tinggalnya. Setahu dia juga, bahwa suami Bu Imah adalah tipikal orang yang perhatian dan sayang pada keluarganya. Jadi dia masih berbaik sangka, suami temannya bukan sumber masalah. Tapi yang musti ditelusuri penyebab perubahan sikap suami Bu Imah, malah harusnya digali dari temannya itu sendiri. Bukan mencari-cari akar masalahnya dari si suami.
“Cobalah jeng Imah, introspeksi dulu ke dalam. Mungkin ada sikap-sikap atau perilaku jeng yang kurang disenangi suami, tapi jeng Imah masih sering melakukannya,” nasihat tetangga Bu Imah setelah dia menceritakan kejadian hampir mirip yang pernah menimpa dirinya. Tapi gelombang cobaan itu akhirnya bisa dia atasi, yakni dengan cara dia membenahi dirinya, serta berusaha berkomunikasi secara baik dengan suaminya.
Penggal kisah di atas mungkin pernah atau mirip dengan pengalaman yang sedang kita alami saat ini. Jika terjadi demikian, sebaiknya kita jangan gegabah memvonis kesalahan semata-mata ada di pihak pasangan kita. Nasehat teman Bu Imah bisa jadi benar dan dapat kita contoh sebagai solusi pemecahannya.
Tak jarang para ibu muda abai terhadap hal-hal yang mungkin mereka anggap sepele. Tapi hal-hal sepele itu sebetulnya tidak atau kurang disukai suami. Misalnya meletakkan baju kotor secara sembrono, membiarkan piring-piring atau alat-alat dapur bekas pakai menumpuk di meja, saat suami pulang kerja. Atau barangkali letak kursi di ruang tamu yang semrawut tak tertata, dan lantai dibiarkan kotor. Pemandangan-pemandangan seperti ini, bila kerap terjadi di dalam rumah dan disaksikan oleh orang yang baru pulang bekerja, bisa jadi membuatnya jengkel. Orang yang letih akan tambah letih bila melihat pemandangan yang kurang berkenan di hatinya.
Celakanya, bila keadaan seperti itu diingatkan oleh suami, tak jarang si isteri menjawab ketus. “Maklum lah mas, namanya juga banyak anak. Apalagi gak ada pembantu. Mas gak ngerasain sih, aku ini udah capek banget mas, jadi gak ada waktu lah ngurusi masalah tetek-bengek kayak gitu.” Begitu kurang-lebih jawaban apologi yang kerap terlontar dari kebanyakan ibu muda.
Tentu saja sikap ini tidak kondusif untuk menumbuhkan cinta dan kemesraan hubungan pasangan suami isteri (pasutri). Isteri khususnya, bila kerepotan untuk menangani atau berbenah di rumah, seharusnya menjelaskan kepada suaminya secara baik-baik. Misalnya dia menjelaskan, bahwa saat ini beban kerjanya bertambah, dan mungkin ada baiknya bila mengambil seorang pembantu rumah tangga. Keterus-terangan ini akan lebih baik bila disampaikan isteri kepada si suaminya. Sehingga tidak terjadi saling salah pengertian. Si suami misalnya, menganggap isteri malas atau kurang peduli dengan kebersihan dan kerapihan rumah. Sementara isteri menilai suami terlalu egois, tidak pernah merasakan betapa capeknya berkutet di dalam rumah seharian, menghadapi berbagai macam pekerjaan dan permasalahan rumah tangga.
Keterusterangan masing-masing pasutri, memang diperlukan dalam kehidupan berumah-tangga. Agar kehangatan hubungan pasutri tidak lekas pudar. Di samping tentunya, penting tetap menjaga sikap tidak mudah tersinggung ketika mendapat masukan atau teguran dari salah satu pasangan kita. Dengan kata lain, masing-masing pasangan hendaknya saling menghormati dan sebaiknya berkata santun tatkala mengekspresikan ketidakpuasannya. Ketidakenakan di hati atas kondisi yang terjadi di rumah, tidak perlu dengan reaksi marah atau disikapi dengan muka cemberut. Biasakanlah menggunakan bahasa yang santun dan sejuk terhadap pasangan kita. Bukan hanya ketika dalam suasana puas, tapi juga dalam suasana rumit dan tegang sekalipun.
Satu hal yang barangkali bisa kita jadikan bahan introspeksi. Kita misalnya, sering bisa menahan emosi dan hormat pada orang lain. Atau berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain. Tapi kenapa kita begitu mudah dan ringannya meremehkan dan menyinggung perasaan pasangan kita? Itupun sering kita lakukan seakan-akan tanpa beban, tanpa perasaan bersalah (guilty feeling). Sehingga kita melakukannya berulang-ulang.
Boleh jadi selama ini mungkin kita selalu memposisikan diri sebagai lawan bukan mitra terhadap pasangan kita. Atau mungkin saja sadar atau tidak, kita selalu menyikapi pasangan kita sebagai kompetitor yang harus dilawan. Ini barangkali salah satu penyebab, kenapa kita selalu out of control ketika mengeluarkan uneg-uneg hati kita. Sehingga tak jarang kata-kata itu terdengar ketus atau pedas. Dan celakanya kata-kata pedas itu kemudian saling berbalas.
Karena itu, alangkah baiknya bila mulai saat ini kita membenahi kembali posisi kita. Bahwa kita harus selalu memposisikan diri sebagai saudara, orangtua, mitra sekaligus teman bagi seluruh anggota keluarga. Sehingga kita akan bisa lebih banyak maklum dan menghormati pasangan kita. Kita akan bisa lebih terbuka dan toleran, serta berupaya menjaga perasaan pasangan kita. Mudah-mudahan dengan begitu umur kemesraan kita bisa tahan lama dan awet, insya Allah
“Heran tuh, Mas-ku sudah tidak seperti dulu lagi. Kelihatannya mulai acuh sama aku. Mungkin dia sudah nikah lagi apa ya?” ungkap ibu tiga orang anak yang aseli Tegal itu cemas pada ibu sebelah rumahnya. Dia saat itu curhat panjang lebar tentang kondisi suaminya kepada teman ngobrolnya sehari-hari itu.
Usai diceritakan kisah itu, tetangga Bu Imah cuma mesem-mesem. Dia berusaha meredakan kecemasan hati sobatnya. Sebab tetangga Bu Imah itu tahu, bahwa suami temannya itu orang baik-baik. Rajin ke masjid dan aktif pada setiap kegiatan RT, serta masih aktif memimpin sebuah majelis taklim di lingkungan tempat tinggalnya. Setahu dia juga, bahwa suami Bu Imah adalah tipikal orang yang perhatian dan sayang pada keluarganya. Jadi dia masih berbaik sangka, suami temannya bukan sumber masalah. Tapi yang musti ditelusuri penyebab perubahan sikap suami Bu Imah, malah harusnya digali dari temannya itu sendiri. Bukan mencari-cari akar masalahnya dari si suami.
“Cobalah jeng Imah, introspeksi dulu ke dalam. Mungkin ada sikap-sikap atau perilaku jeng yang kurang disenangi suami, tapi jeng Imah masih sering melakukannya,” nasihat tetangga Bu Imah setelah dia menceritakan kejadian hampir mirip yang pernah menimpa dirinya. Tapi gelombang cobaan itu akhirnya bisa dia atasi, yakni dengan cara dia membenahi dirinya, serta berusaha berkomunikasi secara baik dengan suaminya.
Penggal kisah di atas mungkin pernah atau mirip dengan pengalaman yang sedang kita alami saat ini. Jika terjadi demikian, sebaiknya kita jangan gegabah memvonis kesalahan semata-mata ada di pihak pasangan kita. Nasehat teman Bu Imah bisa jadi benar dan dapat kita contoh sebagai solusi pemecahannya.
Tak jarang para ibu muda abai terhadap hal-hal yang mungkin mereka anggap sepele. Tapi hal-hal sepele itu sebetulnya tidak atau kurang disukai suami. Misalnya meletakkan baju kotor secara sembrono, membiarkan piring-piring atau alat-alat dapur bekas pakai menumpuk di meja, saat suami pulang kerja. Atau barangkali letak kursi di ruang tamu yang semrawut tak tertata, dan lantai dibiarkan kotor. Pemandangan-pemandangan seperti ini, bila kerap terjadi di dalam rumah dan disaksikan oleh orang yang baru pulang bekerja, bisa jadi membuatnya jengkel. Orang yang letih akan tambah letih bila melihat pemandangan yang kurang berkenan di hatinya.
Celakanya, bila keadaan seperti itu diingatkan oleh suami, tak jarang si isteri menjawab ketus. “Maklum lah mas, namanya juga banyak anak. Apalagi gak ada pembantu. Mas gak ngerasain sih, aku ini udah capek banget mas, jadi gak ada waktu lah ngurusi masalah tetek-bengek kayak gitu.” Begitu kurang-lebih jawaban apologi yang kerap terlontar dari kebanyakan ibu muda.
Tentu saja sikap ini tidak kondusif untuk menumbuhkan cinta dan kemesraan hubungan pasangan suami isteri (pasutri). Isteri khususnya, bila kerepotan untuk menangani atau berbenah di rumah, seharusnya menjelaskan kepada suaminya secara baik-baik. Misalnya dia menjelaskan, bahwa saat ini beban kerjanya bertambah, dan mungkin ada baiknya bila mengambil seorang pembantu rumah tangga. Keterus-terangan ini akan lebih baik bila disampaikan isteri kepada si suaminya. Sehingga tidak terjadi saling salah pengertian. Si suami misalnya, menganggap isteri malas atau kurang peduli dengan kebersihan dan kerapihan rumah. Sementara isteri menilai suami terlalu egois, tidak pernah merasakan betapa capeknya berkutet di dalam rumah seharian, menghadapi berbagai macam pekerjaan dan permasalahan rumah tangga.
Keterusterangan masing-masing pasutri, memang diperlukan dalam kehidupan berumah-tangga. Agar kehangatan hubungan pasutri tidak lekas pudar. Di samping tentunya, penting tetap menjaga sikap tidak mudah tersinggung ketika mendapat masukan atau teguran dari salah satu pasangan kita. Dengan kata lain, masing-masing pasangan hendaknya saling menghormati dan sebaiknya berkata santun tatkala mengekspresikan ketidakpuasannya. Ketidakenakan di hati atas kondisi yang terjadi di rumah, tidak perlu dengan reaksi marah atau disikapi dengan muka cemberut. Biasakanlah menggunakan bahasa yang santun dan sejuk terhadap pasangan kita. Bukan hanya ketika dalam suasana puas, tapi juga dalam suasana rumit dan tegang sekalipun.
Satu hal yang barangkali bisa kita jadikan bahan introspeksi. Kita misalnya, sering bisa menahan emosi dan hormat pada orang lain. Atau berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain. Tapi kenapa kita begitu mudah dan ringannya meremehkan dan menyinggung perasaan pasangan kita? Itupun sering kita lakukan seakan-akan tanpa beban, tanpa perasaan bersalah (guilty feeling). Sehingga kita melakukannya berulang-ulang.
Boleh jadi selama ini mungkin kita selalu memposisikan diri sebagai lawan bukan mitra terhadap pasangan kita. Atau mungkin saja sadar atau tidak, kita selalu menyikapi pasangan kita sebagai kompetitor yang harus dilawan. Ini barangkali salah satu penyebab, kenapa kita selalu out of control ketika mengeluarkan uneg-uneg hati kita. Sehingga tak jarang kata-kata itu terdengar ketus atau pedas. Dan celakanya kata-kata pedas itu kemudian saling berbalas.
Karena itu, alangkah baiknya bila mulai saat ini kita membenahi kembali posisi kita. Bahwa kita harus selalu memposisikan diri sebagai saudara, orangtua, mitra sekaligus teman bagi seluruh anggota keluarga. Sehingga kita akan bisa lebih banyak maklum dan menghormati pasangan kita. Kita akan bisa lebih terbuka dan toleran, serta berupaya menjaga perasaan pasangan kita. Mudah-mudahan dengan begitu umur kemesraan kita bisa tahan lama dan awet, insya Allah
0 Tanggapan untuk "Agar Umur Kemesraan Itu Bisa Tahan Lama"
Post a Comment