Menangkal Musibah dengan Tobat Nasuha
Sunday, July 10, 2011
Tambahkan komentar
Oleh Saiful Asyhad
(Staf Pengajar Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri)
Bencana demi bencana mendera bangsa kita. Mulai dari banjir bandang, tanah longsor, gempa bumi, bahkan tsunami. Musibah itu bak cerita komik berjilid-jilid. Bala seolah tak kenal kata “stop”.
Walau begitu, sebagai muslim, kita tidak boleh putus asa atas kepahitan ini. Kita harus tetap berkhusnuzh zhaan terhadap Allah swt. Dengan berpikir positif itu, insya Allah kita mampu menguak hikmahnya. Salah satu caranya adalah dengan merenungkan tiga kemungkinan berikut.
Pertama, semua bencana alam tadi ujian Allah. Jika ini benar, maka kita patut bersyukur karena Dia berkeinginan meningkatkan derajat bangsa kita jika lulus dalam ujian itu. Kita pun tersungging karena ”naik kelas” di ”sekolah” Allah setelah sabar mengahadapi tes rentetan musibah itu. Kita tertawa bahagia menerima ”ijazah” dari “tangan”-Nya yang penuh sifat rahmaan dan rahiim.
Setelah itu, kita akan memperoleh limpahan rahmat-Nya yang tiada batas dalam berbagai bentuk. Misalnya, alam yang makin rapi dan subur kembali. Iklim dan cuaca nan bersahabat. Hujan yang penuh nikmat, yakni tanpa angin kencang, badai, atau banjir. Kemarau tanpa kekeringan maupun kebakaran hutan. Hadirnya pemimpin yang adil yang mampu mewujudkan bangsa dan negara ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur. Sungguh, nikmat yang tiada tara bila musibah itu memang merupakan suatu ujian dari Allah dan kita mampu melewatinya dengan sabar.
Kemungkinan kedua, musibah itu peringatan Allah. Jika ini yang benar, kita semua harus mawas diri. Apa kesalahan yang telah kita perbuat hingga Dia memukulkan ”cambuk kecil”-Nya? Mungkin kita mengaku Islam, namun belum kaaffah (paripurna) alias masih sebatas Islam KTP. Kita harus berani meneliti bercak diri. Lalu, kita bersihkan dengan ibadah yang bernuansa tobat nasuha. Insya Allah, Dia yang Maha Pengampun akan berkenan meminjamkan ”penghapus” untuk melap noda pada kita.
Yang sangat kita khawatirkan adalah jangan-jangan malah kemungkinan ketiga yang terjadi. Musibah itu azab! Wah, kalau ini yang terjadi, maka harus ada akselerasi tobat. Kita harus kontinyu memohon ampunan-Nya. Sekecil apapun dosa itu harus kita istighfari setiap hari hingga tercipta gerakan tobat individual yang menasional. Syukur bila ada political will dari Pemerintah dengan mewajibkan tobat paripurna skala nasional secara serentak dan berjamaah di berbagai pelosok tanah air. Kemudian, dilanjutkan dengan tobat harian secara pribadi.
Langkah tobat nasional itu sudah merupakan harga mati. Kita harus akui betapa banyak dosa yang telah kita lakukan. Kemudian, kita pun harus menyesali dosa yang kian hari makin menumpuk, menggunung, bahkan melimpah ruah bak air bah di samudra. Wujud penyesalan itu kita tumpahkan dalam bentuk linangan air mata yang tulus di hadapan Allah SWT saat salat tobat, salat tahajud, atau ibadah qiyaam al lail (salat malam).
Langkah terakhir dari ritual taubatan nashuuha adalah berjanji sepenuh hati tidak akan mengulangi perbuatan dosa itu. Kita berjanji tidak terperosok ke jurang nista yang sama untuk kedua kali. Kita berjanji menyetop tingkah terkutuk yang membuat kita terpuruk.
Wujudnya, antara lain, jangan lagi berillegal logging membabi buta itu sebab kita manusia, bukan babi buta! Kita pun jangan mendukung, apalagi melakukan dan memperjuangkan pornografi dan pornoaksi di Indonesia yang agamis sebab itu bagai mempertemukan anjing dan kucing. Kita tancapkan sikap antikorupsi sebab korupsi membangkrutkan negara. Masih banyak kemaksiatan lainnya yang harus kita hindari, bahkan ”perangi”. Bisa dengan tangan, lidah, maupun hati, sesuai level kekuasaan yang diamanatkan Allah kepada kita.
Semoga Allah swt berkenan meridai kita dalam menangkal musibah dengan tobat nasuha, baik secara individual, bahkan nasional. Amin.
(Staf Pengajar Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri)
Bencana demi bencana mendera bangsa kita. Mulai dari banjir bandang, tanah longsor, gempa bumi, bahkan tsunami. Musibah itu bak cerita komik berjilid-jilid. Bala seolah tak kenal kata “stop”.
Walau begitu, sebagai muslim, kita tidak boleh putus asa atas kepahitan ini. Kita harus tetap berkhusnuzh zhaan terhadap Allah swt. Dengan berpikir positif itu, insya Allah kita mampu menguak hikmahnya. Salah satu caranya adalah dengan merenungkan tiga kemungkinan berikut.
Pertama, semua bencana alam tadi ujian Allah. Jika ini benar, maka kita patut bersyukur karena Dia berkeinginan meningkatkan derajat bangsa kita jika lulus dalam ujian itu. Kita pun tersungging karena ”naik kelas” di ”sekolah” Allah setelah sabar mengahadapi tes rentetan musibah itu. Kita tertawa bahagia menerima ”ijazah” dari “tangan”-Nya yang penuh sifat rahmaan dan rahiim.
Setelah itu, kita akan memperoleh limpahan rahmat-Nya yang tiada batas dalam berbagai bentuk. Misalnya, alam yang makin rapi dan subur kembali. Iklim dan cuaca nan bersahabat. Hujan yang penuh nikmat, yakni tanpa angin kencang, badai, atau banjir. Kemarau tanpa kekeringan maupun kebakaran hutan. Hadirnya pemimpin yang adil yang mampu mewujudkan bangsa dan negara ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur. Sungguh, nikmat yang tiada tara bila musibah itu memang merupakan suatu ujian dari Allah dan kita mampu melewatinya dengan sabar.
Kemungkinan kedua, musibah itu peringatan Allah. Jika ini yang benar, kita semua harus mawas diri. Apa kesalahan yang telah kita perbuat hingga Dia memukulkan ”cambuk kecil”-Nya? Mungkin kita mengaku Islam, namun belum kaaffah (paripurna) alias masih sebatas Islam KTP. Kita harus berani meneliti bercak diri. Lalu, kita bersihkan dengan ibadah yang bernuansa tobat nasuha. Insya Allah, Dia yang Maha Pengampun akan berkenan meminjamkan ”penghapus” untuk melap noda pada kita.
Yang sangat kita khawatirkan adalah jangan-jangan malah kemungkinan ketiga yang terjadi. Musibah itu azab! Wah, kalau ini yang terjadi, maka harus ada akselerasi tobat. Kita harus kontinyu memohon ampunan-Nya. Sekecil apapun dosa itu harus kita istighfari setiap hari hingga tercipta gerakan tobat individual yang menasional. Syukur bila ada political will dari Pemerintah dengan mewajibkan tobat paripurna skala nasional secara serentak dan berjamaah di berbagai pelosok tanah air. Kemudian, dilanjutkan dengan tobat harian secara pribadi.
Langkah tobat nasional itu sudah merupakan harga mati. Kita harus akui betapa banyak dosa yang telah kita lakukan. Kemudian, kita pun harus menyesali dosa yang kian hari makin menumpuk, menggunung, bahkan melimpah ruah bak air bah di samudra. Wujud penyesalan itu kita tumpahkan dalam bentuk linangan air mata yang tulus di hadapan Allah SWT saat salat tobat, salat tahajud, atau ibadah qiyaam al lail (salat malam).
Langkah terakhir dari ritual taubatan nashuuha adalah berjanji sepenuh hati tidak akan mengulangi perbuatan dosa itu. Kita berjanji tidak terperosok ke jurang nista yang sama untuk kedua kali. Kita berjanji menyetop tingkah terkutuk yang membuat kita terpuruk.
Wujudnya, antara lain, jangan lagi berillegal logging membabi buta itu sebab kita manusia, bukan babi buta! Kita pun jangan mendukung, apalagi melakukan dan memperjuangkan pornografi dan pornoaksi di Indonesia yang agamis sebab itu bagai mempertemukan anjing dan kucing. Kita tancapkan sikap antikorupsi sebab korupsi membangkrutkan negara. Masih banyak kemaksiatan lainnya yang harus kita hindari, bahkan ”perangi”. Bisa dengan tangan, lidah, maupun hati, sesuai level kekuasaan yang diamanatkan Allah kepada kita.
Semoga Allah swt berkenan meridai kita dalam menangkal musibah dengan tobat nasuha, baik secara individual, bahkan nasional. Amin.
0 Tanggapan untuk "Menangkal Musibah dengan Tobat Nasuha"
Post a Comment