About Love, Episode: Energi Kecupan
Sunday, February 5, 2012
Tambahkan komentar
Hari belum dimulai. Jarum pendek pada jam dinding mengarah ke angka 2. Masih terlalu gelap. Tiba-tiba aku terbelalak kaget. Istriku, Ryan, tengah menahan rasa sakit di perutnya. Geriginya saling beradu, sesekali gigi atasnya menangkap bibir bawah untuk mencoba menghilangkan sakit yang takkan pernah aku mengerti kadarnya. Sementara aku menyiapkan mobil, kudengar erangan Ryan semakin keras, si kecil di dalam perutnya mungkin sudah tak sabar hendak melihat dunia. Nakalnya aku, masih sempatnya sedikit nyengir karena senang akan segera menjadi seorang ayah. Terbayang tak lama lagi akan terdengar suara mungil memanggil, “Ayah…”
Kupacu mobilku secepat mungkin. Masih 2 kilometer lagi rumah sakit bersalin tempat biasa istriku memeriksakan kandungannya setiap bulan. Semakin cepat roda berputar semakin cemas perasaanku, terlebih melihat istriku yang mulai melemah. Tak lagi terdengar erangan dari mulutnya, yang ada hanya desahan buangan nafas dengan sedikit tersengal. Kuyakinkan dia untuk sedikit bersabar, “Tinggal dua kelok lagi dik…”
Sesaat sebelum turun, diluar halaman depan rumah sakit, kubopong Ryan menuju ruang tengah rumah sakit. Beberapa detik sebelum para suster menyodorkan tempat tidur beroda untuk istriku, sempat Ryan membisikkan sesuatu …. Tak terasa sebulir air mata mengalir dari sudut mataku …
Bagaimana mungkin, disaat kritis dan tengah menahan sakit yang teramat seperti itu ia masih sempat memikirkan kebahagiaan suaminya jika Tuhan berkehendak lain atas sebuah ajal. Memang yang kutahu, saat-saat seperti ini adalah saat mempertaruhkan hidup dan mati bagi seorang ibu. Tapi bagaimana mungkin Ryan masih bisa membagi ruang dalam pikirannya untukku disaat genting seperti saat ini.
Detik demi detik, menit pun berlalu. Tapi masih saja terngiang kata-kata istriku, “Mas harus menikah lagi, jika Allah menghendaki ajalku berakhir hari ini…”.
Hhhhhh … kuhela nafasku panjang. Aku mengutuk-ngutuk diri ini sendirian. Sementara di dalam sana istriku tengah berjuang antara hidup dan mati demi memberikan kebahagiaan berupa sesosok malaikat kecil yang sebentar lagi hadir bersama dalam kehidupan kami, tapi aku masih saja berdiri di sini, di ruang tunggu ditemani tembok putih yang membisu.
Kududuk sejenak, tak sengaja pikiranku melayang. Terbayang wajah istriku yang cantik. 2 tahun menikah, tak terasa sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. Berarti juga, bukan hanya satu kecupan yang akan menyemangatiku sebelum berangkat kerja, tapi akan ada lagi satu kecupan dari bibir mungil malaikat kecilku. Kecupan… ya, satu kecupan di pagi hari yang memberikan energi luar biasa setiap kali memulai hari dengan rutinitas kantor. Dan satu kecupan hangat menyambutku di depan pintu sepulang bekerja, yang membasuh semua peluh, yang menghilangkan segala letih dan kepenatan. Kecupan …
Sedetik kemudian …
Aku berlari, membuka pintu ruang persalinan, kulihat istriku masih terus berusaha mengatur nafasnya. Tak percaya aku seberani ini, padahal sebelumnya sudah kuyakini aku takkan sanggup menemaninya bersalin. Aku tak kuasa melihat istriku menderita, bahkan sudah terbayang dalam benakku sejak bulan-bulan terakhir menjelang persalinan ini, sesuatu yang terpahit yang aku tak ingin terjadi pada istriku, termasuk anakku.
Tetapi di menjelang pagi ini,
Kudekati Ryan, kugenggam tangannya erat. Kurasakan jemarinya seperti baru saja menemukan pegangan kuat setelah sebelumnya menggapai-gapai hampir terlelap dalam lautan peluh. Dan sesaat kemudian, kecupan hangat dariku mendarat di keningnya, menyingkirkan semua peluhnya. Mataku terpejam sementara bibirku terus bertengger di kening basahnya. Terlintas energi dahsyat yang selama ini dialirkan oleh Ryan sebelum aku berangkat kerja. Kali ini aku berharap, energi itu bisa diperolehnya dari hangat bibirku di keningnya …
Akhirnya, diiringi segurat do'a …
Sebuah tangis yang kurindu sekian bulan lamanya terdengar. Yang pasti, kulihat juga senyum Ryan menyambut kehadiran malaikat kecil kami itu. Terima kasih Allah. Kupercaya, Engkau turut andil sewaktu energi kecupan itu kualiri kepadanya. Karena juga, aku masih ingin selalu mendapatkan energi itu esok hari, bukan cuma dari satu kecupan, ditambah kecupan mungil itu...
Kupacu mobilku secepat mungkin. Masih 2 kilometer lagi rumah sakit bersalin tempat biasa istriku memeriksakan kandungannya setiap bulan. Semakin cepat roda berputar semakin cemas perasaanku, terlebih melihat istriku yang mulai melemah. Tak lagi terdengar erangan dari mulutnya, yang ada hanya desahan buangan nafas dengan sedikit tersengal. Kuyakinkan dia untuk sedikit bersabar, “Tinggal dua kelok lagi dik…”
Sesaat sebelum turun, diluar halaman depan rumah sakit, kubopong Ryan menuju ruang tengah rumah sakit. Beberapa detik sebelum para suster menyodorkan tempat tidur beroda untuk istriku, sempat Ryan membisikkan sesuatu …. Tak terasa sebulir air mata mengalir dari sudut mataku …
Bagaimana mungkin, disaat kritis dan tengah menahan sakit yang teramat seperti itu ia masih sempat memikirkan kebahagiaan suaminya jika Tuhan berkehendak lain atas sebuah ajal. Memang yang kutahu, saat-saat seperti ini adalah saat mempertaruhkan hidup dan mati bagi seorang ibu. Tapi bagaimana mungkin Ryan masih bisa membagi ruang dalam pikirannya untukku disaat genting seperti saat ini.
Detik demi detik, menit pun berlalu. Tapi masih saja terngiang kata-kata istriku, “Mas harus menikah lagi, jika Allah menghendaki ajalku berakhir hari ini…”.
Hhhhhh … kuhela nafasku panjang. Aku mengutuk-ngutuk diri ini sendirian. Sementara di dalam sana istriku tengah berjuang antara hidup dan mati demi memberikan kebahagiaan berupa sesosok malaikat kecil yang sebentar lagi hadir bersama dalam kehidupan kami, tapi aku masih saja berdiri di sini, di ruang tunggu ditemani tembok putih yang membisu.
Kududuk sejenak, tak sengaja pikiranku melayang. Terbayang wajah istriku yang cantik. 2 tahun menikah, tak terasa sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. Berarti juga, bukan hanya satu kecupan yang akan menyemangatiku sebelum berangkat kerja, tapi akan ada lagi satu kecupan dari bibir mungil malaikat kecilku. Kecupan… ya, satu kecupan di pagi hari yang memberikan energi luar biasa setiap kali memulai hari dengan rutinitas kantor. Dan satu kecupan hangat menyambutku di depan pintu sepulang bekerja, yang membasuh semua peluh, yang menghilangkan segala letih dan kepenatan. Kecupan …
Sedetik kemudian …
Aku berlari, membuka pintu ruang persalinan, kulihat istriku masih terus berusaha mengatur nafasnya. Tak percaya aku seberani ini, padahal sebelumnya sudah kuyakini aku takkan sanggup menemaninya bersalin. Aku tak kuasa melihat istriku menderita, bahkan sudah terbayang dalam benakku sejak bulan-bulan terakhir menjelang persalinan ini, sesuatu yang terpahit yang aku tak ingin terjadi pada istriku, termasuk anakku.
Tetapi di menjelang pagi ini,
Kudekati Ryan, kugenggam tangannya erat. Kurasakan jemarinya seperti baru saja menemukan pegangan kuat setelah sebelumnya menggapai-gapai hampir terlelap dalam lautan peluh. Dan sesaat kemudian, kecupan hangat dariku mendarat di keningnya, menyingkirkan semua peluhnya. Mataku terpejam sementara bibirku terus bertengger di kening basahnya. Terlintas energi dahsyat yang selama ini dialirkan oleh Ryan sebelum aku berangkat kerja. Kali ini aku berharap, energi itu bisa diperolehnya dari hangat bibirku di keningnya …
Akhirnya, diiringi segurat do'a …
Sebuah tangis yang kurindu sekian bulan lamanya terdengar. Yang pasti, kulihat juga senyum Ryan menyambut kehadiran malaikat kecil kami itu. Terima kasih Allah. Kupercaya, Engkau turut andil sewaktu energi kecupan itu kualiri kepadanya. Karena juga, aku masih ingin selalu mendapatkan energi itu esok hari, bukan cuma dari satu kecupan, ditambah kecupan mungil itu...
0 Tanggapan untuk "About Love, Episode: Energi Kecupan"
Post a Comment