Bu, Sayalah yang Harus Lebih Takut…
Wednesday, February 8, 2012
Tambahkan komentar
Manusia laksana buih diluas wajah samudera.
Yang mengambang di atas tipis permukaan air.
Ketika angin bertiup, ia hilang.
Seolah ia tidak pernah ada.
Begitulah hidup kita, di hembus oleh kematian.
(Kahlil gibran)
Ibu. Saya memandang pantulan ukiran wajah cantiknya di cermin yang tergantung. Ada yang lain dengan penampilannya. Tadinya saya tidak ‘ngeh’. Namun ketika membantunya memakaikan kerudung berwarna merah jambu itu saya baru menyadarinya. Seuntai tasbih, dengan warna coklat polos yang telah memudar, mengalungi lehernya. Saya melepaskan tasbih itu dengan senyuman menggoda, dan Ibu segera menyimpannya baik-baik di bawah bantal. Saya bersiap menemaninya pergi, membayar rekening telepon. Ketika pulang, setelah berganti pakaian, tasbih ukuran besar itu kembali bertengger di sana, di leher Ibu. Ingin saya bertanya, namun ia berlalu bersegera mengambil wudhu.
Sore kembali turun.
“Nak, Ibu sungguh takut, bekal Ibu tak cukup jika Ibu mati…” ucapnya. Suaranya terdengar jauh. Kepala saya tegak, tak menyangka dengan topik obrolannya. Hening sesaat, suara tetes air dari kran di kamar mandi kian jelas terdengar. Saya masih menatapnya, menarik nafas dan mengeluarkannya paksa. Ingin membelokkan obrolan namun melihat kesungguhannya, melihat letih menelaga di matanya, saya tak tega. Selanjutnya Ibu menambahkan, kenapa ia menakuti sebuah hal yang sudah pasti kedatangannya. Ia merasa sudah tua, porsi rata-rata usia manusia sudah terlampauinya. Tidurnya tak lagi mudah. Makannya tak lagi berselera. Ia merasa tak sempurna lagi melakukan ibadah, karena kesehatannya sudah jauh menurun. Seringkali shalatnya duduk karena untuk berdiri lama Ibu merasa tak mampu. Dan terakhir Ia mengeluhkan dadanya yang tiba-tiba kram.
Ia bukan takut dengan kematian, namun ia mengkhawatirkan seperti apakah malaikat Izrail menjemputnya, berair muka jernih dan mempesona ataukah sesosok seram yang tak pernah dibayangkannya. Ibu takut bekalnya tak cukup untuk menjadikan kampung akhiratnya menyenangkan. Ibu gemetar kala mengingat sungguh pedih azab Allah bagi sang pendurhaka. Ibu takut dengan persiapannya menghadapi kematian yang menurutnya masih alakadarnya. Ia merasa maut sudah diambang karena kesehatannya yang tak lagi paripurna. Ia merasa akan segera pindah ke ‘sana’ sedang bekalnya masih pas-pasan. Ibu sungguh merasa kematiannya telah dekat, amat dekat.
Dan pada Saya, dengan lirih ia berharap sebuah penenang kegundahannya “Nak, ibu takut…”.
Entahlah, saat itu yang Saya inginkan adalah menghilang dan terbang menghindarinya. Hingga kemudian Saya hanya mematung dan merasakan perih mememarkan hati. Biasanya saat duduk berdekatan seperti itu, tangan saya akan nakal menjelajah setiap centi wajah syahdu itu dengan celoteh “Idih kulit Ibu sudah keriput”, dan Ibu akan segera memindahkan tangan saya ke punggung tangannya seraya berkata riang “Nah yang ini lebih keriput bukan”. Biasanya saat seperti itu Saya akan tidur di pangkuannya dan mengganggunya dengan pura-pura tertidur. Entahlah saat itu saya lebih memilih menatapnya dan menjadi pendengar yang baik. Entah fikiran Saya buntu hingga tak sedikitpun memberi ucapan bermakna sekedar peredam gemuruh dadanya. Entah pula jika saat yang biasanya menjadi waktu bermesra dengannya menjadi saat-saat yang ingin saya akhiri secepatnya. Sungguh.
Selanjutnya saya faham, mengapa tasbih itu selalu Ia bawa. Setiap hening yang dijumpainya, tasbih yang dikalungkannya akan segera direngkuhi butirnya satu persatu. “Astagfirullah…Astagfirullah…” dzikirnya terdengar perih. Mata itu terpejam, hingga saya yang begitu dekat dan memperhatikannya kadang tak disadarinya.
Malam sudah dari tadi beranjak, dan kegundahan Ibu menjadi kegundahan Saya sekarang. Hati ini nyaring bersuara. Bu, saya juga takut dengan bekalan Saya. Saya belum melakukan banyak hal yang kan memberatkan timbangan kebaikan di akhirat kelak. Bekal saya tak ada apa-apanya di banding dengan yang sudah ibu lakukan. Perjuangan Ibu diantara kesyahidan saat melahirkan 9 orang anak dan mendidiknya dengan baik mustahil dianggap hal yang remeh. Ibu mampu melimpahi kami bertubi cinta sama rata. Ibu juga yang membimbing kami semua menapaki hidup penuh kesabaran, yang memberi petunjuk supaya kami tak terantuk. Yang saya tahu waktu sepertiga malam terakhir adalah waktu yang paling ibu suka untuk menengadah jemari merenda pinta kepada yang Maha Perkasa agar kami semua meraih bahagia, dan itu adalah sebuah amalan yang tak terkira. Ibu yang telah berusaha menjadi Istri yang selalu mengharap keridhaan suami dan surga menjadi sedemikian lapang jika suami ridha. Itu janji Nya. Ibu jarang mengeluh meski kesehatan yang sejak dulu jarang sempurna, hingga sering ke rumah sakit dan mengakrabi obat-obatan. Dan bukankah kesabaran dalam setiap sakit yang diderita adalah penggugur dosa.
Ingin sekali menjumpaimu bu, dan mengatakan semua ini segera.
Bu…bu... seharusnya sayalah yang harus lebih khawatir.
***
Sahabat, terkadang kematian hanya lekat dengan pikiran orang-orang yang telah senja. Seringkali ingatan tentang kematian teramat jarang singgah dalam kesibukan bahkan dalam waktu luang kita sekalipun. Kita lihat mesjid-mesjid yang shafnya hanya berisi para renta. Seringkali mati hanya milik mereka, dia, si anu, si fulan, bukan kita. Hingga kita tak sempat mengingat bekal untuk sebuah fase yang pasti kita alami. Banyak sekali dari kita yang berhitung untuk berbekal. Berbekal untuk masa depan anak dengan banyak asuransi, untuk liburan beberapa hari bersama keluarga, untuk menikah, untuk masa pensiun yang terhitung beberapa tahun. Dan dengan hati lapang, kita mengabaikan sebenar-benar bekalan. Bekal untuk perjalanan jauh dan tak berhingga. Bekal untuk ‘titik awal kehidupan’ yang sudah absolut kita tapaki. Menantu Rasulullah, Ali ra, menyebutkan bahwa bekal yang paling baik manusia agar selamat di akhirat adalah taqwa. Bekal inilah yang tidak mudah kita ingat.
Mendengar kekhawatiran Ibu saya tentang bekalannya, lantas saya teringat senandung kecemasan, yang dibawakan Jalaluddin Rahmat berikut ini :
Rabbana, siapa gerangan yang nasibnya lebih buruk dari kami.
Jika dalam keadaan seperti ini, kami dipindahkan ke dalam kubur.
Kami belum menyiapkan pembaringan kami.
Kami belum menghamparkan amal shaleh untuk tikar kami.
Bagaimana kami tidak menangis.
Sedangkan kami tidak tahu akhir perjalanan kami.
Nafsu selalu menipu kami dan hari-hari melengahkan kami.
Padahal maut telah mengepak-ngepakkan sayapnya diatas kepala kami.
Akhirnya, Sahabat, tak ada salahnya dalam sujud-sujud kita, dalam untaian doa-doa kita, dalam tengadah jemari kita, sebuah permintaan ditambahkan. Sebuah pinta untuk seseorang yang telah mencinta kita dengan nafasnya..”Rabbii… berikan untuk Ibunda, sebuah husnul khatimah”.
Ketika angin bertiup, ia hilang.
Seolah ia tidak pernah ada.
Begitulah hidup kita, di hembus oleh kematian.
(Kahlil gibran)
Ibu. Saya memandang pantulan ukiran wajah cantiknya di cermin yang tergantung. Ada yang lain dengan penampilannya. Tadinya saya tidak ‘ngeh’. Namun ketika membantunya memakaikan kerudung berwarna merah jambu itu saya baru menyadarinya. Seuntai tasbih, dengan warna coklat polos yang telah memudar, mengalungi lehernya. Saya melepaskan tasbih itu dengan senyuman menggoda, dan Ibu segera menyimpannya baik-baik di bawah bantal. Saya bersiap menemaninya pergi, membayar rekening telepon. Ketika pulang, setelah berganti pakaian, tasbih ukuran besar itu kembali bertengger di sana, di leher Ibu. Ingin saya bertanya, namun ia berlalu bersegera mengambil wudhu.
Sore kembali turun.
“Nak, Ibu sungguh takut, bekal Ibu tak cukup jika Ibu mati…” ucapnya. Suaranya terdengar jauh. Kepala saya tegak, tak menyangka dengan topik obrolannya. Hening sesaat, suara tetes air dari kran di kamar mandi kian jelas terdengar. Saya masih menatapnya, menarik nafas dan mengeluarkannya paksa. Ingin membelokkan obrolan namun melihat kesungguhannya, melihat letih menelaga di matanya, saya tak tega. Selanjutnya Ibu menambahkan, kenapa ia menakuti sebuah hal yang sudah pasti kedatangannya. Ia merasa sudah tua, porsi rata-rata usia manusia sudah terlampauinya. Tidurnya tak lagi mudah. Makannya tak lagi berselera. Ia merasa tak sempurna lagi melakukan ibadah, karena kesehatannya sudah jauh menurun. Seringkali shalatnya duduk karena untuk berdiri lama Ibu merasa tak mampu. Dan terakhir Ia mengeluhkan dadanya yang tiba-tiba kram.
Ia bukan takut dengan kematian, namun ia mengkhawatirkan seperti apakah malaikat Izrail menjemputnya, berair muka jernih dan mempesona ataukah sesosok seram yang tak pernah dibayangkannya. Ibu takut bekalnya tak cukup untuk menjadikan kampung akhiratnya menyenangkan. Ibu gemetar kala mengingat sungguh pedih azab Allah bagi sang pendurhaka. Ibu takut dengan persiapannya menghadapi kematian yang menurutnya masih alakadarnya. Ia merasa maut sudah diambang karena kesehatannya yang tak lagi paripurna. Ia merasa akan segera pindah ke ‘sana’ sedang bekalnya masih pas-pasan. Ibu sungguh merasa kematiannya telah dekat, amat dekat.
Dan pada Saya, dengan lirih ia berharap sebuah penenang kegundahannya “Nak, ibu takut…”.
Entahlah, saat itu yang Saya inginkan adalah menghilang dan terbang menghindarinya. Hingga kemudian Saya hanya mematung dan merasakan perih mememarkan hati. Biasanya saat duduk berdekatan seperti itu, tangan saya akan nakal menjelajah setiap centi wajah syahdu itu dengan celoteh “Idih kulit Ibu sudah keriput”, dan Ibu akan segera memindahkan tangan saya ke punggung tangannya seraya berkata riang “Nah yang ini lebih keriput bukan”. Biasanya saat seperti itu Saya akan tidur di pangkuannya dan mengganggunya dengan pura-pura tertidur. Entahlah saat itu saya lebih memilih menatapnya dan menjadi pendengar yang baik. Entah fikiran Saya buntu hingga tak sedikitpun memberi ucapan bermakna sekedar peredam gemuruh dadanya. Entah pula jika saat yang biasanya menjadi waktu bermesra dengannya menjadi saat-saat yang ingin saya akhiri secepatnya. Sungguh.
Selanjutnya saya faham, mengapa tasbih itu selalu Ia bawa. Setiap hening yang dijumpainya, tasbih yang dikalungkannya akan segera direngkuhi butirnya satu persatu. “Astagfirullah…Astagfirullah…” dzikirnya terdengar perih. Mata itu terpejam, hingga saya yang begitu dekat dan memperhatikannya kadang tak disadarinya.
Malam sudah dari tadi beranjak, dan kegundahan Ibu menjadi kegundahan Saya sekarang. Hati ini nyaring bersuara. Bu, saya juga takut dengan bekalan Saya. Saya belum melakukan banyak hal yang kan memberatkan timbangan kebaikan di akhirat kelak. Bekal saya tak ada apa-apanya di banding dengan yang sudah ibu lakukan. Perjuangan Ibu diantara kesyahidan saat melahirkan 9 orang anak dan mendidiknya dengan baik mustahil dianggap hal yang remeh. Ibu mampu melimpahi kami bertubi cinta sama rata. Ibu juga yang membimbing kami semua menapaki hidup penuh kesabaran, yang memberi petunjuk supaya kami tak terantuk. Yang saya tahu waktu sepertiga malam terakhir adalah waktu yang paling ibu suka untuk menengadah jemari merenda pinta kepada yang Maha Perkasa agar kami semua meraih bahagia, dan itu adalah sebuah amalan yang tak terkira. Ibu yang telah berusaha menjadi Istri yang selalu mengharap keridhaan suami dan surga menjadi sedemikian lapang jika suami ridha. Itu janji Nya. Ibu jarang mengeluh meski kesehatan yang sejak dulu jarang sempurna, hingga sering ke rumah sakit dan mengakrabi obat-obatan. Dan bukankah kesabaran dalam setiap sakit yang diderita adalah penggugur dosa.
Ingin sekali menjumpaimu bu, dan mengatakan semua ini segera.
Bu…bu... seharusnya sayalah yang harus lebih khawatir.
***
Sahabat, terkadang kematian hanya lekat dengan pikiran orang-orang yang telah senja. Seringkali ingatan tentang kematian teramat jarang singgah dalam kesibukan bahkan dalam waktu luang kita sekalipun. Kita lihat mesjid-mesjid yang shafnya hanya berisi para renta. Seringkali mati hanya milik mereka, dia, si anu, si fulan, bukan kita. Hingga kita tak sempat mengingat bekal untuk sebuah fase yang pasti kita alami. Banyak sekali dari kita yang berhitung untuk berbekal. Berbekal untuk masa depan anak dengan banyak asuransi, untuk liburan beberapa hari bersama keluarga, untuk menikah, untuk masa pensiun yang terhitung beberapa tahun. Dan dengan hati lapang, kita mengabaikan sebenar-benar bekalan. Bekal untuk perjalanan jauh dan tak berhingga. Bekal untuk ‘titik awal kehidupan’ yang sudah absolut kita tapaki. Menantu Rasulullah, Ali ra, menyebutkan bahwa bekal yang paling baik manusia agar selamat di akhirat adalah taqwa. Bekal inilah yang tidak mudah kita ingat.
Mendengar kekhawatiran Ibu saya tentang bekalannya, lantas saya teringat senandung kecemasan, yang dibawakan Jalaluddin Rahmat berikut ini :
Rabbana, siapa gerangan yang nasibnya lebih buruk dari kami.
Jika dalam keadaan seperti ini, kami dipindahkan ke dalam kubur.
Kami belum menyiapkan pembaringan kami.
Kami belum menghamparkan amal shaleh untuk tikar kami.
Bagaimana kami tidak menangis.
Sedangkan kami tidak tahu akhir perjalanan kami.
Nafsu selalu menipu kami dan hari-hari melengahkan kami.
Padahal maut telah mengepak-ngepakkan sayapnya diatas kepala kami.
Akhirnya, Sahabat, tak ada salahnya dalam sujud-sujud kita, dalam untaian doa-doa kita, dalam tengadah jemari kita, sebuah permintaan ditambahkan. Sebuah pinta untuk seseorang yang telah mencinta kita dengan nafasnya..”Rabbii… berikan untuk Ibunda, sebuah husnul khatimah”.
0 Tanggapan untuk "Bu, Sayalah yang Harus Lebih Takut…"
Post a Comment