Bunda, Buai Kami Dengan Cerita!
Wednesday, February 8, 2012
Tambahkan komentar
Di matamu mama ada
bintang,
gemerlapan bila ku pandang
Di matamu mama ada kasih sayang
Yang selalu bersinar
tak pernah pudar
(sebuah lagu sewaktu saya masih kecil)
Aku akan mendengar bahasa jiwamu,
seperti pantai mendengarkan kisah gelombang
(Kahlil Gibran)
Anak adalah anugerah. Itulah mengapa seorang lelaki tegap tak mampu berkata-kata, ketika sesosok bayi mungil diangsurkan pertama kali. Label ayah kemudian disandangnya, bangga. Juga proses melahirkan yang teramat berat dialami sang ibu, pupus ketika memandang geliat syahdu si kecil meski dengan kedua mata yang masih menutup karena belum perkasa melihat benderang cahaya. Menjadi seorang bunda, adalah sebuah kebahagiaan.
Tetapi anak juga adalah amanah. Lahir ke dunia, anak ibarat sehelai kertas polos. Terserah Ayah dan ibunya yang akan mengisi setiap lengangnya dengan apa. Namun yang pasti, kewajiban mereka adalah mengukir jiwa sang anak untuk terus dalam fitrahnya. Adalah kewajiban Orang tua untuk membentuk mereka menjadi manusia shaleh, cendikia, dan bertaqwa. Dan mewujudkan itu semua, saya tahu tidaklah mudah. Tetapi, sesulit apapun berusahalah untuk menjaga amanah indah itu, karena ketika anak kita shaleh, do'anya tidak akan dapat dihargakan dengan segala benda termahal yang pernah ada di dunia.
Menghujamkan aqidah kepada anak, tidak semudah menanam pepohonan. Mengenalkan Allah sang pencipta kepada si kecil, bukan perkara biasa saja. Apalagi mengajarkan mereka dengan nilai-nilai islam. Tetapi saat masih kecillah, 'benih-benih' itu seharusnya disemaikan agar mampu menjadi filter ampuh baginya kelak. Memang pada usia dini, membangun sebuah pondasi, bisa dikatakan lebih mudah ketimbang memancangkannya di usia dewasa. Itu sudah dibuktikan oleh para ahli. Saya hanya menuliskannya saja. Nah, ketika sang buah hati sudah mengenal kosa kata, saat pendengarannya mampu memaknai apa yang kita ucap. Bersiaplah untuk melakukan yang satu ini. Bercerita!
Saya tahu bercerita tidak hanya bisa dilakukan oleh ibu tapi juga ayah. Tapi, mungkin karena pengalaman saya selama ini cenderung menyaksikan para ibu yang melakukan kegiatan bercerita, maka saya mengkhususkannya untuk para ibunda. Biar lebih bisa mengalir, tentu saja.
Cerita, ternyata efektif membuat anak ingin tahu seperti apa kisah-kisah pesona di zaman terbaik para nabi. Dengan kisah yang dituturkan, sungguh kita bisa memasukkan banyak nilai yang akan mereka serap. Tanpa mereka merasa terbebani, tertekan apalagi menggurui, karena cerita bagi mereka adalah hal yang mengasyikkan. Dan yang paling penting, lewat aktivitas ini, ibunda dapat memasukkan banyak kegembiraan ke dalam hati si kecil.
Bercerita adalah sebuah seni, seni yang menyandarkan kepada kekuatan kata-kata yang nantinya terangkai menjadi sebuah kisah yang berpelangi, tidak monoton. Dan yang harus diperhatikan dalam bercerita selain ceritanya juga teknik menyampaikannya. Suara, ekspresi dan juga situasi. Bahkan mungkin alat peraga seperti gambar, boneka atau benda lainnya dibutuhkan untuk menjadikan cerita sebagai keasyikan bagi si anak. Hingga tujuan bercerita seperti memberikan informasi, mengembangkan daya imajinasi, meluaskan wawasan, memperkenalkan sebuah nilai, mengalirkan kasih sayang atau bahkan mata air ilmu dengan mudah dapat diwujudkan.
Saya jadi terkenang dengan masa kecil. Beruntung mempunyai ibu yang koleksi ceritanya banyak, cerita yang didapatinya dari Nenek. Setiap menjelang tidur, adalah saat yang dinanti. Karena kami anak-anaknya bahkan anak tetangga akan menyimak ceritanya yang suatu waktu bisa bersambung. Pernah giliran kisah seribu satu malam yang diceritakan, ibu hampir kewalahan membuat kami tertidur, karena kami tidak rela beliau menyelesaikannya esok malam, kami seperti raja Syahriar dan Doniazade yang penasaran kelanjutan kisahnya. Lewat cerita ibu, kami tahu kalau Qabil dan Habil pernah berseteru. Saya tahu Ismail itu putra nabi Ibrahim juga dari kisah yang dituturkan ibu. Kadang ibu membuat kami terpingkal dengan kekonyolan Abu Nawas yang selalu memperdaya sang raja. Bukan itu saja kami pernah menangis bersama, karena ibu begitu dramatis mengisahkan Umar yang mengubur hidup-hidup putrinya semasa jahiliyah. Saya sampai tidak mau makan, bahkan terjatuh di sawah ketika pulang sekolah karena terus membayangkan putri kecil itu. Tapi Ibu memang hebat, malam berikutnya kami diajaknya kepada penyesalan Umar, keberaniannya membela Nabi, betapa besar pengorbanannya ketika menjadi pemimpin dan keadilan Umar yang tiada banding, membuat kami lupa kepada kebencian yang pernah tumbuh.
Saya tak akan pernah lupa binar matanya ketika bercerita. Sungguh saya akan terus mengingat ekspresi penuh cinta ketika beliau bercerita, meski seharian lelah mengasuh sembilan orang anak tanpa ada yang membantu. Saya juga pasti terkenang ketika ibu melompat seperti kodok, erangan kesakitannya seperti saat buaya tertimpa pohon, ketika tangannya menggapai-gapai hingga kami semua menepi ke dinding triplek karena takut penculik anak nakal, tertawa menyeramkan ala nenek sihir, bahkan ibu bisa begitu berwibawa memerankan Dewi Sartika. Suatu saat ibu sakit gigi, dan kami semua seperti melewati malam yang tak berujung tanpa ceritanya.
Kami dihantarkan ke alam mimpi dengan mudah meski harus tidur berdesakan, karena tidak ada lagi kamar. Ibu membuat malam-malam kami berwarna dengan kisah kura-kura dan monyet yang mencuri cabai petani, atau cerita legenda batu menangis, kisah durhaka malin kundang, Putri Cinderella yang baik hati, putri rambut merah yang disekap nenek sihir, ketabahan Nabi Ayyub, kerakusan Qarun, kisah budak buncir yang hitam legam namun baik hati. Sungguh masih banyak kisah yang saya simpan dari ibu yang mudah-mudahan kelak bisa juga saya sampaikan kepada anak-anak saya.
Akhirnya, kepada para ibunda, perkenankan saya mewakili anak-anak mu untuk bertutur:
Ibunda, tataplah bening manik-manik mata milik kami. Pandangi wajah-wajah yang belum terkontaminasi ini dengan penuh cinta. Hadirkan renda senyuman tulus itu, hingga kami menganggapmu sebagai pelangi selepas hujan, atau purnama penuh dilangit malam. Ibunda, remah waktu yang ada, sulaplah menjadi masa penuh kasih sayang dengan membuai kami lewat kisah-kisah bermakna. Dari rangkaian kata-kata, sepuh hati kami dengan pesona akhlak nabi al-Musthafa. Ajaklah kami menyelami keberanian para mujahid demi tegaknya izzah Islam, lewat kisah teladan kepahlawanan.
Ibunda, jangan biarkan kami mengenyangkan hari dengan komik-komik Jepang yang bergambar vulgar. Tolonglah kami menapaki hidup dengan tidak memamah waktu di depan mesin play station atau televisi. Duhai ibunda, sayangi kami dengan menjadi seorang sahabat sejati. Jangan hempaskan kami di sebuah zaman yang sungguh butuh penunjuk. Bekali kami bunda, dengan agama. Buatlah hati kami selalu tertambat dengan keindahan Islam. Jangan biarkan kami terserak dengan mencipta jarak. Sungguh bunda, saat kami tertatih melangkah, kami membutuhkanmu sebagai pengarah. Bukankah kami rentan untuk tersandung? Bunda, yang kami tahu engkau adalah madrasah pertama kami.
Ibunda, tak sabar kami menantimu, membuai kami dengan cerita, menghantar kami menuju lelap. Dan kami akan memandang wajah rembulan bunda. Kami pasti menemukan gemerlap bintang di mata bunda, dan kami akan selalu menjumpai tatapan kesayanganmu. Silahkan bunda, buai kami dengan cerita....
Di matamu mama ada kasih sayang
Yang selalu bersinar
tak pernah pudar
(sebuah lagu sewaktu saya masih kecil)
Aku akan mendengar bahasa jiwamu,
seperti pantai mendengarkan kisah gelombang
(Kahlil Gibran)
Anak adalah anugerah. Itulah mengapa seorang lelaki tegap tak mampu berkata-kata, ketika sesosok bayi mungil diangsurkan pertama kali. Label ayah kemudian disandangnya, bangga. Juga proses melahirkan yang teramat berat dialami sang ibu, pupus ketika memandang geliat syahdu si kecil meski dengan kedua mata yang masih menutup karena belum perkasa melihat benderang cahaya. Menjadi seorang bunda, adalah sebuah kebahagiaan.
Tetapi anak juga adalah amanah. Lahir ke dunia, anak ibarat sehelai kertas polos. Terserah Ayah dan ibunya yang akan mengisi setiap lengangnya dengan apa. Namun yang pasti, kewajiban mereka adalah mengukir jiwa sang anak untuk terus dalam fitrahnya. Adalah kewajiban Orang tua untuk membentuk mereka menjadi manusia shaleh, cendikia, dan bertaqwa. Dan mewujudkan itu semua, saya tahu tidaklah mudah. Tetapi, sesulit apapun berusahalah untuk menjaga amanah indah itu, karena ketika anak kita shaleh, do'anya tidak akan dapat dihargakan dengan segala benda termahal yang pernah ada di dunia.
Menghujamkan aqidah kepada anak, tidak semudah menanam pepohonan. Mengenalkan Allah sang pencipta kepada si kecil, bukan perkara biasa saja. Apalagi mengajarkan mereka dengan nilai-nilai islam. Tetapi saat masih kecillah, 'benih-benih' itu seharusnya disemaikan agar mampu menjadi filter ampuh baginya kelak. Memang pada usia dini, membangun sebuah pondasi, bisa dikatakan lebih mudah ketimbang memancangkannya di usia dewasa. Itu sudah dibuktikan oleh para ahli. Saya hanya menuliskannya saja. Nah, ketika sang buah hati sudah mengenal kosa kata, saat pendengarannya mampu memaknai apa yang kita ucap. Bersiaplah untuk melakukan yang satu ini. Bercerita!
Saya tahu bercerita tidak hanya bisa dilakukan oleh ibu tapi juga ayah. Tapi, mungkin karena pengalaman saya selama ini cenderung menyaksikan para ibu yang melakukan kegiatan bercerita, maka saya mengkhususkannya untuk para ibunda. Biar lebih bisa mengalir, tentu saja.
Cerita, ternyata efektif membuat anak ingin tahu seperti apa kisah-kisah pesona di zaman terbaik para nabi. Dengan kisah yang dituturkan, sungguh kita bisa memasukkan banyak nilai yang akan mereka serap. Tanpa mereka merasa terbebani, tertekan apalagi menggurui, karena cerita bagi mereka adalah hal yang mengasyikkan. Dan yang paling penting, lewat aktivitas ini, ibunda dapat memasukkan banyak kegembiraan ke dalam hati si kecil.
Bercerita adalah sebuah seni, seni yang menyandarkan kepada kekuatan kata-kata yang nantinya terangkai menjadi sebuah kisah yang berpelangi, tidak monoton. Dan yang harus diperhatikan dalam bercerita selain ceritanya juga teknik menyampaikannya. Suara, ekspresi dan juga situasi. Bahkan mungkin alat peraga seperti gambar, boneka atau benda lainnya dibutuhkan untuk menjadikan cerita sebagai keasyikan bagi si anak. Hingga tujuan bercerita seperti memberikan informasi, mengembangkan daya imajinasi, meluaskan wawasan, memperkenalkan sebuah nilai, mengalirkan kasih sayang atau bahkan mata air ilmu dengan mudah dapat diwujudkan.
Saya jadi terkenang dengan masa kecil. Beruntung mempunyai ibu yang koleksi ceritanya banyak, cerita yang didapatinya dari Nenek. Setiap menjelang tidur, adalah saat yang dinanti. Karena kami anak-anaknya bahkan anak tetangga akan menyimak ceritanya yang suatu waktu bisa bersambung. Pernah giliran kisah seribu satu malam yang diceritakan, ibu hampir kewalahan membuat kami tertidur, karena kami tidak rela beliau menyelesaikannya esok malam, kami seperti raja Syahriar dan Doniazade yang penasaran kelanjutan kisahnya. Lewat cerita ibu, kami tahu kalau Qabil dan Habil pernah berseteru. Saya tahu Ismail itu putra nabi Ibrahim juga dari kisah yang dituturkan ibu. Kadang ibu membuat kami terpingkal dengan kekonyolan Abu Nawas yang selalu memperdaya sang raja. Bukan itu saja kami pernah menangis bersama, karena ibu begitu dramatis mengisahkan Umar yang mengubur hidup-hidup putrinya semasa jahiliyah. Saya sampai tidak mau makan, bahkan terjatuh di sawah ketika pulang sekolah karena terus membayangkan putri kecil itu. Tapi Ibu memang hebat, malam berikutnya kami diajaknya kepada penyesalan Umar, keberaniannya membela Nabi, betapa besar pengorbanannya ketika menjadi pemimpin dan keadilan Umar yang tiada banding, membuat kami lupa kepada kebencian yang pernah tumbuh.
Saya tak akan pernah lupa binar matanya ketika bercerita. Sungguh saya akan terus mengingat ekspresi penuh cinta ketika beliau bercerita, meski seharian lelah mengasuh sembilan orang anak tanpa ada yang membantu. Saya juga pasti terkenang ketika ibu melompat seperti kodok, erangan kesakitannya seperti saat buaya tertimpa pohon, ketika tangannya menggapai-gapai hingga kami semua menepi ke dinding triplek karena takut penculik anak nakal, tertawa menyeramkan ala nenek sihir, bahkan ibu bisa begitu berwibawa memerankan Dewi Sartika. Suatu saat ibu sakit gigi, dan kami semua seperti melewati malam yang tak berujung tanpa ceritanya.
Kami dihantarkan ke alam mimpi dengan mudah meski harus tidur berdesakan, karena tidak ada lagi kamar. Ibu membuat malam-malam kami berwarna dengan kisah kura-kura dan monyet yang mencuri cabai petani, atau cerita legenda batu menangis, kisah durhaka malin kundang, Putri Cinderella yang baik hati, putri rambut merah yang disekap nenek sihir, ketabahan Nabi Ayyub, kerakusan Qarun, kisah budak buncir yang hitam legam namun baik hati. Sungguh masih banyak kisah yang saya simpan dari ibu yang mudah-mudahan kelak bisa juga saya sampaikan kepada anak-anak saya.
Akhirnya, kepada para ibunda, perkenankan saya mewakili anak-anak mu untuk bertutur:
Ibunda, tataplah bening manik-manik mata milik kami. Pandangi wajah-wajah yang belum terkontaminasi ini dengan penuh cinta. Hadirkan renda senyuman tulus itu, hingga kami menganggapmu sebagai pelangi selepas hujan, atau purnama penuh dilangit malam. Ibunda, remah waktu yang ada, sulaplah menjadi masa penuh kasih sayang dengan membuai kami lewat kisah-kisah bermakna. Dari rangkaian kata-kata, sepuh hati kami dengan pesona akhlak nabi al-Musthafa. Ajaklah kami menyelami keberanian para mujahid demi tegaknya izzah Islam, lewat kisah teladan kepahlawanan.
Ibunda, jangan biarkan kami mengenyangkan hari dengan komik-komik Jepang yang bergambar vulgar. Tolonglah kami menapaki hidup dengan tidak memamah waktu di depan mesin play station atau televisi. Duhai ibunda, sayangi kami dengan menjadi seorang sahabat sejati. Jangan hempaskan kami di sebuah zaman yang sungguh butuh penunjuk. Bekali kami bunda, dengan agama. Buatlah hati kami selalu tertambat dengan keindahan Islam. Jangan biarkan kami terserak dengan mencipta jarak. Sungguh bunda, saat kami tertatih melangkah, kami membutuhkanmu sebagai pengarah. Bukankah kami rentan untuk tersandung? Bunda, yang kami tahu engkau adalah madrasah pertama kami.
Ibunda, tak sabar kami menantimu, membuai kami dengan cerita, menghantar kami menuju lelap. Dan kami akan memandang wajah rembulan bunda. Kami pasti menemukan gemerlap bintang di mata bunda, dan kami akan selalu menjumpai tatapan kesayanganmu. Silahkan bunda, buai kami dengan cerita....
0 Tanggapan untuk "Bunda, Buai Kami Dengan Cerita!"
Post a Comment