Epilog Seorang Ayah dan Putrinya
Wednesday, February 8, 2012
Tambahkan komentar
Mentari baru saja
terbenam ketika kami menutup silaturahmi di apartemen seorang sahabat.
Silaturahmi yang berbentuk pengajian berbonus acara makan-makan alias 'proyek
perbaikan gizi mahasiswa' memang kebutuhan yang tak terhindarkan bagi warga
Delft.
Sejalan dengan waktu, satu persatu rekan yang tempat tinggalnya jauh mulai berpamitan. Sementara, saya dan beberapa teman masih enggan beranjak dari tempat duduk. Kami terkesima mengamati seorang bapak, salah seorang sahabat kami, yang sedang mengasuh putrinya yang masih kanak-kanak. Bapak itu tengah bermain dan bercanda dengan buah hati kesayangannya.
Sang putri terlihat begitu asyik dan teramat menikmati guyonan dan bulir-bulir kebijaksanaan yang keluar dari lisan ayahandanya. Sedangkan sang ayah pun kelihatan sangat memaknai perannya saat itu. Sesekali sang putri kecil mendelik tajam ke arah ayahnya, pertanda tak setuju. Terkadang wajahnya memberenggut manja, menunjukkan sewotnya saat sang ayah melarangnya. Namun sesaat kemudian rona bahagia kembali terpancar di wajah riangnya.
Hubungan ayah dengan anak perempuannya memang khas. Apabila pada anak laki-laki dibebankan berjuta harapan, kebanggaan serta idealisme. Maka hubungan ayah dan puterinya lebih mengarah pada keakraban sentimentil-psikologis yang sangat ekslusif dan sulit dideskripsikan. Begitu unik namun halus hingga sering luput dari pengamatan.
Hubungan kasih sayang yang sepertinya hanya dipahami oleh sang ayah dan putrinya itu sendiri. Ayah dan anak perempuannya seolah memiliki bahasa dan dunia tersendiri bagi arena cinta mereka. Bahkan ada pendapat yang latah mengatakan, "seorang ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya".
Tarikan kasih sayang yang begitu kuat ditemukan pada hubungan antara Nabi Shallahu 'Alaihi Wasallam dan Fatimah Az-Zahra ra putrinya. Rasulullah menyimpan cinta yang mendalam kepada salah seorang wanita terbaik sepanjang masa ini.
Jika Fatimah datang menemui Nabi, Ayahnya itu menyambutnya, dan menciumnya, lalu didudukkannya di tempat ia duduk.
Kedekatan Ayah dan putrinya ini membuat Rasul sangat memahami Fatimah. Kegembiraan Fatimah adalah kegembiraan Rasulullah. Demikian pula sebaliknya, kesedihan dan kerisauan Fatimah adalah kesedihan bagi Rasul. Pembelaan Rasul menjadi haknya. "Fatimah merupakan belahan diriku. Siapa yang menyakitinya, berarti menyakitiku" (HR. Muslim).
Dalam hadist yang serupa, "Fatimah adalah bagian dari diriku; apa yang meresahkan dia, akan meresahkan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya, akan menyakiti hatiku juga"
.Bahkan, melihat keakraban Rasulullah dengan Fatimah, Aisyah ra pun acapkali dibuat cemburu.
Fatimah diriwayatkan mewarisi banyak kemuliaan ayahnya. Sebagaimana suaminya Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhahu, Fatimah tumbuh dalam didikan Rasulullah. Disitulah transfer kemuliaan dan keshalihan dari laki-laki terbaik kepada perempuan utama itu berlangsung.
Rasul juga sangat memuji keshalihan dan keutamaan puterinya itu, "Seutama-utama wanita ahli surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam binti Imran dan Asiyah binti Muzahim" (HR. Ahmad).
Secara historis, kedekatan Ayah dan putrinya ini sudah sepatutnya karena Fatimah tumbuh dewasa dalam kasih sayang dan didikan ayahnya. Ibunya, Khadijah ra meninggal dunia ketika Fatimah masih kanak-kanak. Kedekatan hubungan ayah dan anak ini seperti tak dapat dipisahkan dunia. Tak lama setelah Rasul wafat, Fatimah adalah kerabatnya yang pertama menyusul meninggal dunia.
Selain kemuliaan dan kemiripan fisik, Fatimah juga dikisahkan memiliki kebersahajaan hidup yang menjadi identitas Rasul. Pengabdian Fatimah kepada ayahnya pun luar biasa hingga Rasul menggelarinya Ummu Abiha; ibu dari ayahnya. Ungkapan sayang, pembelaan dan bangga Rasul memang pantas menjadi milik putrinya itu.
0 Tanggapan untuk "Epilog Seorang Ayah dan Putrinya"
Post a Comment