Apa Pantas Berharap Surga?
Thursday, March 29, 2012
Tambahkan komentar
Sholat dhuha cuma dua
rakaat, qiyamullail (tahajjud) juga hanya dua rakaat, itu pun sambil
terkantuk-kantuk. Sholat lima waktu? Sudahlah jarang di masjid, milih ayatnya
yang pendek-pendek saja agar lekas selesai. Tanpa doa, dan segala macam puji
untuk Allah, terlipatlah sajadah yang belum lama tergelar itu. Lupa pula dengan
sholat rawatib sebelum maupun sesudah shalat wajib. Satu lagi, semua di atas
itu belum termasuk catatan: "Kalau tidak terlambat" atau "Asal
nggak bangun kesiangan". Dengan sholat model begini, apa pantas mengaku
ahli ibadah?
Padahal Rasulullah dan para sahabat senantiasa mengisi
malam-malamnya dengan derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Tak jarang
kaki-kaki mereka bengkak oleh karena terlalu lama berdiri dalam khusyuknya.
Kalimat-kalimat pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap Allah Yang Maha
Mendengar mau mendengarkan keluh mereka. Ketika adzan berkumandang, segera para
sahabat meninggalkan semua aktivitas menuju sumber panggilan, kemudian waktu
demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh
tetesan air mata.
Baca Qur'an sesempatnya, itu pun tanpa memahami arti dan
maknanya, apalagi meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat yang
mengalir dari lidah ini tak sedikit pun membuat dada ini bergetar, padahal
tanda-tanda orang beriman itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka
tergetarlah hatinya. Hanya satu dua lembar ayat yang sempat dibaca sehari, itu
pun tidak rutin. Kadang lupa, kadang sibuk, kadang malas. Yang begini ngaku beriman?
Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yang menahan nafas
mereka untuk meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali
mereka terhenti, tak melanjutkan bacaannya ketika mencoba menggali makna
terdalam dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya. Tak jarang mereka
hiasi mushaf di tangan mereka dengan tetes air mata. Setiap tetes yang akan
menjadi saksi di hadapan Allah bahwa mereka jatuh karena lidah-lidah indah yang
melafazkan ayat-ayat Allah dengan pemahaman dan pengamalan tertinggi.
Bersedekah jarang, begitu juga infak. Kalau pun ada, dipilih
mata uang terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh. Berbuat
baik terhadap sesama juga jarang, paling-paling kalau sedang ada kegiatan bakti
sosial, yah hitung-hitung ikut meramaikan. Sudah lah jarang beramal, amal yang
paling mudah pun masih pelit, senyum. Apa sih susahnya senyum? Kalau sudah
seperti ini, apa pantas berharap Kebaikan dan Kasih Allah?
Rasulullah adalah manusia yang paling dirindui, senyum
indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, juga pembelaannya
bukan semata milik Khadijah, Aisyah, dan istri-istri beliau yang lain. Juga
bukan semata teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya. Ia senantiasa
penuh kasih dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, bahkan kepada musuhnya
sekali pun. Ia juga mengajarkan para sahabat untuk berlomba beramal shaleh,
berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.
Setiap hari ribut dengan tetangga. Kalau bukan sebelah
kanan, ya tetangga sebelah kiri. Seringkali masalahnya cuma soal sepele dan
remeh temeh, tapi permusuhan bisa berlangsung berhari-hari, kalau perlu
ditambah sumpah tujuh turunan. Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjingkan
aib dan kejelekan saudara sendiri. Detik demi detik dada ini terus jengkel
setiap kali melihat keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka atau
mendapatkan bencana. Sudah sedemikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada
ini? Adakah pantas hati yang seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah
kelak?
Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada
orang-orang beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak. Tentu saja mereka
yang berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. Tak inginkah kita
menjadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu? Lalu kenapa masih terus
bermuka masam terhadap saudara sendiri?
Dengan adik tidak akur, kepada kakak tidak hormat. Terhadap
orang tua kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka,
apalah lagi mendoakan mereka, mungkin tidak pernah. Padahal mereka tak butuh
apa pun selain sikap ramah penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka
besarkan dengan segenap cinta. Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah.
Orang-orang seperti kita ini, apa pantas berharap surga Allah?
Dari ridha orang tua lah, ridha Allah diraih. Kaki mulia ibu
lah yang disebut-sebut tempat kita merengkuh surga. Bukankah Rasulullah yang
sejak kecil tak beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu, bahkan tiga
kali beliau menyebut nama ibu sebelum kemudian nama Ayah? Bukankah seharusnya
kita lebih bersyukur saat masih bisa mendapati tangan lembut untuk dikecup,
kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah teduh yang teramat hangat dan
menyejukkan? Karena begitu banyak orang-orang yang tak lagi mendapatkan
kesempatan itu. Ataukah harus menunggu Allah memanggil orang-orang terkasih itu
hingga kita baru merasa benar-benar membutuhkan kehadiran mereka? Jangan tunggu
penyesalan.
Astaghfirullaah ...
0 Tanggapan untuk "Apa Pantas Berharap Surga?"
Post a Comment