Pelajaran dari Thaif, Kebencian Dibalas dengan Kasih Sayang
Thursday, June 2, 2016
Tambahkan komentar
Peta Kota Thaif (Sumber) |
Kisah ini berawal ketika siang itu,
secara diam-diam Rasulullah dengan ditemani Zaid bin Haritsah pergi ke Thaif,
kota yang terletak sekitar 70 kilometer arah tenggara Kota Makkah. Mereka
berdua berjalan kaki di bawah terik panas sang mentari, hanya untuk menghindari
penganiayaan yang lebih berat. Mereka bermaksud meminta pertolongan dan
perlindungan dari kabilah Tsaqif, kabilah yang sangat besar jumlahnya. Beliau berpendapat
jika penduduk Thaif memeluk Islam, maka kaum muslimin bisa melepaskan diri dari
siksaan kaum kafir Qurays yang sedemikian berat.
Setibanya di
Thaif, beliau menuju tempat para pemuka Bani Tsaqif, yaitu Abdul Yalil, Hubaib
dan Mas’ud. Kepada mereka, beliau menceritakan tentang ajaran agama Islam dan
mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT, serta meninggalkan ajaran menyembah
berhala. Namun bagaimana tanggapan mereka? Mereka menolaknya dengan hinaan yang
sangat menyakitkan.
“Jika memang Tuhan telah mengutusmu sebagai
Rasul, berarti kain Ka’bah telah terkoyak!” kata salah satu di antara
mereka.
“Apakah Tuhan tidak mendapatkan orang lain
selain dirimu untuk diangkat sebagai rasul?” kata yang lain dengan nada
sinis.
Meskipun berbagai hinaan diterimanya, Rasulullah tidaklah berputus
asa. Beliau tetap berdakwah di Thaif selama sepuluh hari, meski pada akhirnya tidak
ada seorangpun penduduk Thaif yang menerima dakwahnya. Bahkan mereka mengusir
Rasulullah dengan kasar.
"Keluar dari kampung kami!" Begitulah teriakan-teriakan mereka.
Sumber: google.com, diedit dengan picpick.exe |
Rasulullah SAW ditemani Zaid beristirahat dan
berteduh di kebun anggur itu sambil membersihkan darah yang mengalir dari
lukanya. Dalam kondisi sulit dan sedih inilah, Rasulullah berdo’a kepada Allah SWT.
"Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengadu akan kelemahan dan
ketidak berdayaanku dalam berhadapan dengan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha
Penyayang, Engkau adalah Tuhannya orang-orang yang lemah. Dan Engkau adalah
Tuhanku. Kepada siapa Engkau serahkan aku? Apakah ke jarak jauh Engkau arahkan
aku? Apakah kepada musuh Engkau serahkan urusanku?”
“Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua itu tak
kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku.
Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan
mendatangkan kebajikan di dunia dan di akherat dari murka-Mu yang hendak Engkau
turunkan dan mempersalahkan diriku. Sungguh tiada daya dan kekuatan apapun
selain atas ijin-Mu.”
Do’a Sang Nabi segera terjawab. Pemilik kebun anggur tempat
Rasulullah SAW beristirahat itu melihat dan mengetahui ada dua orang
asing sedang beristirahat. Ia menyuruh tukang kebunnya yang bernama Addas untuk
membawakan beberapa tangkai anggur kepada Rasulullah SAW.
Ketika Rasulullah SAW menerima anggur tersebut, dan hendak memakannya
beliau membaca basmalah.
”Bismillaahir-rahmaanir-rahiim,”
ucap beliau.
Mendengar ucapan itu, Addas merasa heran karena ia tak
pernah mendengar sekalipun penduduk Thaif mengucapkan kata-kata itu.
“Tuan bukan penduduk
Thaif? Kata-kata Tuan tadi tidak pernah diucapkan oleh penduduk di sini,” tanya Addas dengan penuh rasa heran. “Saya juga bukan
penduduk asli sini. Saya seorang Nasrani, berasal dari daerah Ninawa,” lanjutnya.
“Apakah kamu dari negerinya seorang yang saleh bernama Yunus?”
tanya Sang Nabi.
Addas merasa heran, kemudian ia bertanya lagi, “Bagaimana
Tuan bisa mengenal Nabi Yunus?”
Maka Rasulullah SAW menjelaskan, “Yunus
adalah saudaraku. Ia seorang Nabi dan akupun seorang nabi”.
Kemudian Rasulullah SAW membacakan kisah Nabi Yunus AS
yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Addas sangat terharu mendengar
ayat-ayat yang dibaca Rasulullah SAW, karena isinya sama dengan apa yang
telah dipelajarinya dari kitab-kitab terdahulu. Addas pun yakin bahwa orang yang
dihadapannya itu seorang yang tak lain adalah utusan Allah SWT. Tanpa ragu-ragu
Addas berlutut dihadapan Rasulullah SAW dan mengakui kenabiannya.
Setelah cukup beristirahat, dan keadaan luka-lukanya sudah agak
membaik, Nabi SAW meninggalkan kebun kurma itu untuk meneruskan
perjalanan ke Makkah. Meski beliau terhibur dengan ke-Islaman Addas, namun beliau
masih merasa teramat sedih, hatinya seperti diiris-iris mendapat perlakuan yang
begitu menghinakan dari penduduk Thaif.
Di tengah perjalanan, ketika tiba di sebuah daerah yang
bernama Qarnuts Tsa’alib, atau juga disebut dengan Qarnul Manazil, Nabi SAW
berhenti sejenak. Sang Nabi menengadahkan
wajah memandang awan yang selalu menaungi selama perjalanannya itu. Dan
ternyata Jibril berada di atas sana hendak menyampaikan sesuatu.
“Sesungguhnya Allah telah mendengar apa yang dikatakan
kaummu dan apa yang dilakukannya terhadap engkau. Allah telah mengutus seorang
malaikat penjaga gunung, agar engkau memerintahkan apapun yang engkau kehendaki!”
kata Jibril.
Malaikat penjaga gunung itupun tampil dan berkata, “Wahai
Muhammad, semua itu telah terjadi, dan apakah yang engkau kehendaki? Jika
engkau inginkan untuk meratakan Akhsyabaini, tentu aku akan melakukannya…”
Sumber: google.com, diedit dengan picpick.exe |
Akhsyabaini adalah dua gunung di Makkah, yakni Abu Qubais
dan Qa’aiqa’an yang berada di seberangnya. Maksudnya, malaikat penjaga gunung akan
mengangkat dua gunung itu dan menimpakannya kepada penduduk Kota Thaif agar
Nabi SAW merasa tenang dan hatinya menjadi tentram.
Namun apa jawaban Sang Nabi? Jawaban Nabi Muhammad SAW
menunjukkan sikap yang luar biasa hebatnya. Sikap yang menunjukkan akhlak yang
luhur, penuh kasih sayang dan kelembutan. Bahkan beliau tetap mengharapkan ke-Islaman
mereka kaum Thaif, entah dalam jangka waktu dekat atau yang akan datang.
"Aku justru berharap Allah akan mengeluarkan dari
tulang rusuk mereka generasi yang menyembah Allah semata dan tidak
menyekutukan-Nya dengan apapun," jawab Sang
Nabi.
Setelah menolak bantuan yang ditawarkan malaikat penjaga
gunung, Nabi Muhammad SAW kembali ke Makkah setelah menginap di kebun
Al-Muth'im bin Adi. Dan sungguh benar, kini telah lahir dari rahim-rahim kaum
Thaif generasi yang mengesakan Allah SWT dan tidak menyekutukan-Nya.
Dari kaum Thaif, lahirlah para penghafal Al-Qur’an yang hebat dan tak pernah
putus dari generasi ke generasi.
Demikianlah salah satu kisah hebat Nabi Muhammad SAW saat
membalas kebencian dengan kasih sayang melalui do’a yang beliau panjatkan.
0 Tanggapan untuk "Pelajaran dari Thaif, Kebencian Dibalas dengan Kasih Sayang"
Post a Comment