Puisi Gus Mus: Sajak Selamat Tahun Baru
Thursday, January 5, 2017
Tambahkan komentar
Selamat Tahun Baru Kawan
Kawan, Sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk?
Memandang diri sendiri?
bercermin firman Tuhan sebelum kita dihisabnya?
Kawan, siapakah kita ini sebenarnya?
Musliminkah? Mukminin? Muttaqin? Khalifah Allah? Umat Muhammad-kah kita?
Khaira ummatin kah kita? atau kita sama saja dengan makhluk lain?
atau bahkan lebih rendah lagi?
Hanya budak-budak perut dan kelamin.
Iman kita kepada Allah dan yang ghaib rasanya lebih tipis dari uang kertas ribuan, lebih pipih dari kain rok perempuan.
Betapapun tersiksa, kita Khusyuk di depan massa dan tiba-tiba buas dan binal justru di saat sendiri bersamaNya.
Syahadat kita rasanya seperti perut bedug, atau pernyataan setia pegawai rendahan, kosong tak berdaya.
Shalat kita rasanya lebih buruk dari senam Ibu-ibu, lebih cepat dari pada menghirup kopi panas dan lebih ramai daripada lamunan seribu anak muda.
Do’a kita sesudahnya justru lebih serius kita memohon hidup enak di dunia dan bahagia disurga.
Puasa kita rasanya sekedar mengubah jadual makan minum dan saat istirahat tanpa menggeser acara buat syahwat.
Ketika datang lapar atau haus; kitapun menggut-manggut “Oh beginikah rasanya” dan kita sudah merasa memikirkan saudara-saudara kita yang melarat.
Zakat kita jauh lebih berat terasa dibanding tukang becak melepas penghasilannya untuk kupon undian yang sia-sia..
Kalaupun terkeluarkan harapanpun tanpa ukuran, upaya-upaya Tuhan menggantinya beripat ganda.
Haji kita tak ubahnya tamasya menghibur diri, mencari pengalaman spiritual dan material.
Membuang uang kecil dan dosa besar, lalu pulang membawa label suci asli made in Saudi.. HAJI.
Kawan, lalu bagaimana, bilamana dan berapa lama kita BersamaNya?
Atau kita justru sibuk menjalankan tugas mengatur bumi seisinya
Mensiasati dunia sebagai khalifahnya.
Kawan, tak terasa kita semakin pintar
Mungkin kedudukan kita sebagai khalifah mempercepat proses kematangan kita, paling tidak kita semakin pintar berdalih.
Kita perkosa alam dan lingkungan demi ilmu pengetahuan
Kita berkelahi demi menegakkan kebenaran
Melacur dan menipu demi keselamatan
Memamerkan kekayaan demi mensyukuri kenikmatan
Memukul dan mencaci demi pendidikan
Berbuat semuanya demi kemerdekaan
Tidak berbuat apa-apa demi ketentraman
Membiarkan kemungkaran demi kedamaian
Pendek kata, demi semua yang baik, halallah semua sampaipun yang paling tidak baik
Lalu bagaimana para cendikiawan dan seniman?
Para mubaligh dan kiai penyambung lidah Nabi?
Jangan ganggu mereka.
Para cendikiawan sedang memikirkan segalanya
Para seniman sedang merenungkan apa saja
Para muballigh sedang sibuk berteriak kemana-mana
Para kiai sedang sibuk berfatwa dan berdo’a
Para pemimpin sedang mengatur semuanya
Biarkan mereka diatas sana
Menikmati dan meratapi nasib dan persoalan mereka sendiri.
Kawan, selam tahun baru
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk dan memandang diri sendiri?
(KH. Mustofa Bisri)
Kawan, Sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk?
Memandang diri sendiri?
bercermin firman Tuhan sebelum kita dihisabnya?
Kawan, siapakah kita ini sebenarnya?
Musliminkah? Mukminin? Muttaqin? Khalifah Allah? Umat Muhammad-kah kita?
Khaira ummatin kah kita? atau kita sama saja dengan makhluk lain?
atau bahkan lebih rendah lagi?
Hanya budak-budak perut dan kelamin.
Iman kita kepada Allah dan yang ghaib rasanya lebih tipis dari uang kertas ribuan, lebih pipih dari kain rok perempuan.
Betapapun tersiksa, kita Khusyuk di depan massa dan tiba-tiba buas dan binal justru di saat sendiri bersamaNya.
Syahadat kita rasanya seperti perut bedug, atau pernyataan setia pegawai rendahan, kosong tak berdaya.
Shalat kita rasanya lebih buruk dari senam Ibu-ibu, lebih cepat dari pada menghirup kopi panas dan lebih ramai daripada lamunan seribu anak muda.
Do’a kita sesudahnya justru lebih serius kita memohon hidup enak di dunia dan bahagia disurga.
Puasa kita rasanya sekedar mengubah jadual makan minum dan saat istirahat tanpa menggeser acara buat syahwat.
Ketika datang lapar atau haus; kitapun menggut-manggut “Oh beginikah rasanya” dan kita sudah merasa memikirkan saudara-saudara kita yang melarat.
Zakat kita jauh lebih berat terasa dibanding tukang becak melepas penghasilannya untuk kupon undian yang sia-sia..
Kalaupun terkeluarkan harapanpun tanpa ukuran, upaya-upaya Tuhan menggantinya beripat ganda.
Haji kita tak ubahnya tamasya menghibur diri, mencari pengalaman spiritual dan material.
Membuang uang kecil dan dosa besar, lalu pulang membawa label suci asli made in Saudi.. HAJI.
Kawan, lalu bagaimana, bilamana dan berapa lama kita BersamaNya?
Atau kita justru sibuk menjalankan tugas mengatur bumi seisinya
Mensiasati dunia sebagai khalifahnya.
Kawan, tak terasa kita semakin pintar
Mungkin kedudukan kita sebagai khalifah mempercepat proses kematangan kita, paling tidak kita semakin pintar berdalih.
Kita perkosa alam dan lingkungan demi ilmu pengetahuan
Kita berkelahi demi menegakkan kebenaran
Melacur dan menipu demi keselamatan
Memamerkan kekayaan demi mensyukuri kenikmatan
Memukul dan mencaci demi pendidikan
Berbuat semuanya demi kemerdekaan
Tidak berbuat apa-apa demi ketentraman
Membiarkan kemungkaran demi kedamaian
Pendek kata, demi semua yang baik, halallah semua sampaipun yang paling tidak baik
Lalu bagaimana para cendikiawan dan seniman?
Para mubaligh dan kiai penyambung lidah Nabi?
Jangan ganggu mereka.
Para cendikiawan sedang memikirkan segalanya
Para seniman sedang merenungkan apa saja
Para muballigh sedang sibuk berteriak kemana-mana
Para kiai sedang sibuk berfatwa dan berdo’a
Para pemimpin sedang mengatur semuanya
Biarkan mereka diatas sana
Menikmati dan meratapi nasib dan persoalan mereka sendiri.
Kawan, selam tahun baru
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk dan memandang diri sendiri?
(KH. Mustofa Bisri)
0 Tanggapan untuk "Puisi Gus Mus: Sajak Selamat Tahun Baru"
Post a Comment