Syukur sebagai Wujud Bertauhid
Wednesday, July 19, 2017
Tambahkan komentar
Khotbah I
اَلْحَمْدُ للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِىْ جَعَلَ الْاِسْلَامَ طَرِيْقًا سَوِيًّا، وَوَعَدَ لِلْمُتَمَسِّكِيْنَ بِهِ وَيَنْهَوْنَ الْفَسَادَ مَكَانًا عَلِيًّا. اَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ
فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Dalam kesempatan yang baik ini marilah kita tanamkan tekad yang kuat untuk mengisi hari-hari kita demi meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah subhanahu wata’ala sebagai wujud rasa syukur kita atas kehidupan yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita. Dengan iman dan taqwa sebagai rasa syukur kita wujudkan kehidupan yang damai, makmur dan sentosa dengan penuh kesadaran akan jabatan kita khalifah di muka bumi yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak di hari pengadilan.
Hadirin jama’ah shalat Jum’at yang semoga dirahmati Allah,
Suatu ketika Sulaiman ‘alaihisalam bersama tentara-tentara pengawalnya yang terdiri dari manusia dan jin mengadakan perjalanan jauh. Di tengah jalan ia bertemu dengan sekelompok semut yang sedang bekerja mengangkut makanan ke sarangnya. Seekor semut berseru kepada kawanannya:
يَا أَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
“Wahai sekalian semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya sedangkan mereka tidak menyadari” (QS. Al-Naml: 18)
Sulaiman yang dianugerahi Allah kemampuan mengerti bahasa para binatang di antara kelebihan-kelebihannya yang lain hanya tersenyum demi mendengar perkataan seekor semut itu. Sulaiman pun langsung memanjatkan doa:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku ilham agar tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku berbuat kebaikan yang Engkau ridhai masukkan aku dengan kasih-sayang-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih”. (QS. AL-Naml: 19)
Sungguh luar biasa sikap yang ditunjukkan oleh Sulaiman, seorang yang memiliki kekuasaan yang besar dan harta kekayaan yang berlimpah, dikawal oleh pasukan besar manusia dan jin, berkemampuan mengerti dan berbahasa bahasa binatang, yang terpatri dalam kalbunya dan terucap dari mulutnya adalah rasa syukur atas anugerah yang dicurahkan Allah kepadanya. Kebanyakan manusia seringkali lupa bersyukur tatkala ia mendapatkan sedikit saja kenikmatan apalagi banyak. Berbeda dengan Nabi Sulaiman, yang karena sikap kerendahan hatinya pantas ditunjuk oleh Allah sebagai nabi yang harus kita teladani perbuatan dan tingkah lakunya, justru tak lupa bersyukur atas seluruh kenikmatan yang diperolehnya kepada Allah.
Syukur adalah seutama-utama tingkah laku. Jika kita membaca Al-Qur`an, membuka lembaran pertamanya, akan kita temukan bahwa kitab suci pun memulai segala pengetahuannya dengan ungkapan rasa syukur kepada Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dengan ungkapan alhamdu li Allahi Rabbi-l-‘alamin (segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam).
Syukur adalah hikmah, atau sebagaimana diartikan para failasuf dengan “pengetahuan sejati”, pengetahuan sejati pertama yang diterima oleh Lukman al-Hakim. Allah subhanahu wata’ala menceritakan:
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Dia sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu ‘bersyukurlah kepada Allah dan barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya, Maha Terpuji”. (QS. Luqman: 12).
Mengapa syukur menjadi tingkah laku utama? Karena nikmat Allah sudah begitu besar dan begitu banyak terlimpah kepada kita semua. Rasanya begitu malu jika kita masih meminta-minta kepada Allah, padahal sudah begitu banyak yang Ia curahkan. Kita terlalu banyak meminta tapi sedikit sekali bersyukur. Seharusnya kita banyak bersyukur tapi juga banyak meminta, karena Allah justru akan marah jika kita tidak meminta kepada-Nya. Ini menandakan bahwa sebanyak apapun kita meminta nikmat Allah tidak jua habis dikuras. Allah sendiri menggambarkan dengan cara yang sangat cantik sekali seberapa banyak nikmat yang dapat Ia limpahkan kepada sekalian makhluk-Nya. Allah berfirman:
قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
“Katakanlah wahai Muhammad, seandainya air laut dijadikan tinta untuk menghitung kalimah atau nikmat Tuhanku maka habislah lautan itu sebelum nikmat-nikmat selesai dicatat, bahkan jika seandainya Allah mendatangkan lagi jumlah lautan yang sama”. (QS. Al-Kahf: 109).
Nikmat Allah begitu banyak, bahkan kehidupan hari ini adalah sebagian dari nikmat Allah subhanahu wata’ala. Dengan diberikan kehidupan kita masih diberi kesempatan oleh Allah untuk membuktikan diri sebagai orang-orang yang pantas mendapat ridha Allah dan memasuki surga-Nya. Ingatlah bahwa orang-orang yang telah meninggal berharap diberikan lagi kehidupan agar diberikan lagi kesempatan beribadah dan beramal, karena jika maut sudah menjemput kesempatan berbuat kebaikan sudah musnah dan harapan hidup di akhirat dengan keadaan berbahagia telah pupus.
Nikmat Allah begitu banyak, bahkan nafas dan detak jantung yang bekerja saat ini adalah sebagian nikmat Allah subhanahu wata’ala. Banyangkanlah, jika kita menderita sesak napas saja, sudah begitu menderitanya kita, apalagi jika nafas ini dicabut oleh Allah, atau bayangkanlah jika detak jantung ini terlalu cepat atau terlalu lambat, sudah begitu sakitnya terasa oleh kita, apalagi jika jantung sudah tak lagi bekerja memompa darah ke seluruh tubuh. Ingatlah, karena itu, untuk selalu bersyukur. Wajar kiranya Rasulullah dan para ulama mengajarkan kita untuk memulai hari dengan ungkapan rasa syukur, melalui doa sederhana yang diajarkan guru-guru agama sejak kita masih kecil:
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى أَحْيَانَا بَعْدَمَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami dan kepada-Nya-lah tempat kembali”.
Hadirin rahimakumullah,
Lalu apakah syukur itu? Syukur jelas bukanlah sekadar hamdalah yang diucapkan dengan sangat fashih, tetapi ia lebih berupa pengakuan sungguh-sungguh bahwa semua rejeki dan anugerah yang menghadirkan perasaan nikmat dalam jiwa kita tidak didapat dengan usaha kita sendiri, melainkan berasal hanya dari Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, orang yang bersyukur akan terpatri dalam hatinya bahwa “semua kenikmatan, pengetahuan, kemampuan, kekuasaan, dan harta yang kumiliki ini karena kehendak dan perbuatan Allah subhanahu wata’ala, bukan karena kehendak dan perbuatan usahaku sendiri.”
Dengan pengakuan ini maka orang yang bersyukur akan menempatkan Allah sebagai sumber kenikmatan yang didapatnya. Kemudian kita memahami bahwa Allah adalah sumber kebaikan yang kita ketahui dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Maka dari itu, orang yang bersyukur akan memanfaatkan semua pengetahuan, kemampuan, kekuasaan, harta dan segala kenikmatan lainnya untuk kebaikan. Dengan berbuat kebaikan menggunakan rejeki dari Allah itu, orang yang bersyukur akan menciptakan kehidupan yang baik, kemakmuran masyarakat pun lahir, ketenteraman tercipta, stabilitas terpelihara dan peradaban yang maju pun akan menghampiri hidupnya dan bangsanya. Inilah yang dimaksud hikmah Allah yang diberikan kepada Luqman:
“dan barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri”
Orang yang tidak bersyukur disebut oleh Allah dengan kufr atau dijabarkan lagi oleh ulama dengan sebutan kufr ni’mah. Kata kufrjuga berarti ingkar terhadap Allah. Orang yang ingkar disebut dengan kafir. Karena itu, orang yang tidak bersyukur berarti mengingkari bahwa pengetahuan, kemampuan, kekuasaan, harta dan segala kenikmatan lain yang diperolehnya berasal dari Allah. Dalam hatinya ia merasa bahwa nikmat yang didapatnya berasal dari usaha dirinya sendiri. Dengan ini maka orang yang tidak bersyukur disamakan Allah dengan orang yang ingkar terhadap Allah, atau disebut dengan orang kafir. Di sini kita mengetahui bahwa ternyata sebutan kafir tidak hanya disematkan kepada orang yang bukan Islam yang ingkar terhadap Allah dan hari akhir serta tak beramal saleh, tetapi juga dikenakan kepada orang muslim yang tidak bersyukur.
Dengan demikian, rasa syukur mengandung unsur ketauhidan karena ia berhubungan dengan pengakuan akan kemahakuasaan Allah subhanahu wata’ala. Rasa syukur juga mengandung unsur ajaran akhlak dalam Islam, sebab ia berhubungan dengan perbuatan baik yang dilakukan orang bersyukur, yang jika dilakukan akan mendatangkan kebaikan dan kenikmatan yang lebih banyak lagi dan sebaliknya jika nikmat dipergunakan untuk perbuatan buruk dan jahat akan mendatangkan keburukan dan kejahatan yang lebih besar lagi. Inilah nampaknya makna yang terkandung dalam firman Allah:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Jika Engkau bersyukur atas nikmat-nikmat-Ku maka akan kutambahkan nikmat-nikmat itu, tetapi jika Engkau kufr (ingkar tidak mengakui bahwa itu semua dari-Ku) maka azab-Ku sangatlah pedih” (QS. Ibrahim:7)
Mari kita budayakan kebiasaan untuk selalu bersyukur kepada Allah. Semoga kita semua digolongkan oleh Allah termasuk dalam golongan hamba-hamba-Nya yang shalih sebagai mana doa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam tadi.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
مَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى
وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ
0 Tanggapan untuk "Syukur sebagai Wujud Bertauhid"
Post a Comment